Beberapa bulan setelah terpilih kembali menjadi Presiden untuk periodenya yang ke-2 Jokowi seperti tak lincah lagi dalam membuat kebijakan dan bergerak. Tadinya saya sangat berharap Jokowi akan seperti Mendiang Presiden ke-3 B.J. Habibie yang bergerak begitu cepat dan banyak sekali yang beliau perbuat dan putuskan walaupun usia pemerintahannya hanya 16 bulan saja.
Harapan yang digantungkan ketika memilih Jokowi, ia akan mampu bergerak lebih cepat dan tepat melanjutkan segala kebijakannya di periode pertama yang saya anggap sudah on the right track.Â
Apalagi sesaat setelah terpilih kembali, ia berucap bisa bergerak lebih bebas karena tidak ada beban untuk terpilih kembali untuk pemilihan presiden tahun 2024."Saya dalam 5 tahun ke depan insyaallah sudah tidak memiliki beban apa-apa. Jadi, keputusan yang gila, keputusan yang miring-miring, yang itu penting untuk negara ini akan kita kerjakan. Jadi saya tidak memiliki beban apa-apa," katanya. Minggu (16/6/2019) lalu, seperti yang dikutip dari CNBCIndonesia.com
Betapa senangnya hati saya saat mendengar ucapan ini, saya merasa berhak berkomentar karena saya memilih Jokowi dan ikut berjuang walaupun tidak masuk organisasi partai manapun atau relawan terdaftar manapun.Â
Paling tidak saya sering ber-twitwar dengan pendukung sebelah, dan sempat bersitegang dengan beberapa keluarga dan teman pendukung Prabowo-Sandi, untuk mensosialisasikan program dan kebijakan-kebijakannya.
eh, tak dinyana belakangan ini berbagai tindakan dan kebijakan yang diambilnya tidak mencerminkan sesuai dengan statement "tanpa beban lagi". Untuk memutuskan para pembantunya saja seperti berat banget, komposisi menteri begitu hati-hati ia putuskan. Padahal jelas banget, menurut Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 17 Ayat 2, bahwa menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
Hak Prerogatif Presiden, tak ada satupun atau siapapun yang berhak menentukan menteri kecuali presiden. Kendati sudah jelas seperti itu, tanpa tedeng aling-aling apalagi perasaan malu, partai-partai pendukung Jokowi pada saat pemilihan presiden, minta jatah secara eksplisit dan terkesan mendikte.Â
Mereka merasa sudah berdarah-darah dan berkeringat sekujur tubuh untuk menjadikan Jokowi sebagai Presiden. Padahal mau darah yang keluar berliter-liter atau keringat yang mereka keluarkan bercucuran sampai badannya tenggelam dalam keringat, jika rakyat tidak mau memilihnya ya gak akan jadi.Â
Apakah Gerindra, PAN, Dan PKS tidak berdarah-darah dan berkeringat saat pilpres kemarin, tapi karena rakyat yang memilih Prabowo-Sandi lebih sedikit dari rakyat yang memilih Jokowi, maka Jokowi lah yang jadi presiden. Artinya yang memilih itu rakyat dan Jokowi bertanggung jawab terhadap rakyat, bukan kepada partai politik, relawan, atau siapapun.
Karena tekanan dari berbagai pihak dan berhitung terlalu lama siapa dapat apa, sampai hari ini Kabinet yang diharapkan bisa langsung bekerja saat periode ke -2 dimulai masih belum jelas juntrungannya. Eastereggs, kalo meminjam istilah film memang terus dimunculkan, melalui statement sepotong-sepotong, membuat rakyat terus dilanda ketidakpastian.
Ingat dunia usaha itu butuh kepastian, personal yang akan menduduki jabatan-jabatan strategis yang berhubungan dengan iklim usaha bisa terlihat melalui rekam jejak personal tersebut.Â
Posisi pengusaha dan investor masih wait and see sekarang ini, meskipun Jokowi sudah berkali-kali meyakinkan bahwa semua under control.Tapi mereka butuh bukti dan kepastian dalam menyusun strategi bisnisnya.
Entah apa alasan sebenarnya Jokowi belum menentukan dan menggumumkan ke publik, para personalia kabinetnya tersebut, jangan-jangan sinyalemen yang beredar dimasyarakat bahwa Jokowi berada dalam tekanan Partai Politik pendukung dan Partai politik loncat pagar, benar adanya.
Apalagi sekarang, dengan adanya masalah tentang Revisi Undang-Undang KPK yang berpotensi melemahkan fungsi dan tugas serta kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas korupsi.Â
Revisi RUU tersebut dimotori oleh partai-partai pendukung Jokowi, seperti PDIP, PKB, Partai NasDem, PPP, dan Partai Golkar. Kentara sekali, bahwa beban yang katanya tak ada itu nyata adanya.
Pada Kamis (5/9/19), Rapat Paripurna DPR menyetujui revisi UU KPK menjadi usul dewan setelah sebelumnya diam-diam dibahas di Badan legislasi DPR. Padahal, revisi UU itu tak masuk program legislasi nasional (prolegnas) prioritas. Kemudian DPR Â mengirimkan RUU tersebut ke presiden.Â
Kendati sempat berujar "Yang jelas saya kira kita harapkan DPR mempunyai semangat yang sama untuk memperkuat KPK," kata Jokowi di Solo, Jumat (6/9/19)seperti yang dikutip dari Antara.
Saya pikir Presiden akan menolak RUU tersebut sesuai aspirasi berbagai lapisan masyarakat. Namun kenyataannya, Â hanya dalam tempo 6 hari, Jokowi menandatangi Surat Presiden (Surpres) tanda mengamini Revisi RUU KPK tersebut.Â
Padahal Jokowi sebenarnya memiliki waktu 60 hari, waktu yang cukup agar bisa menimbang, menyerap aspirasi masyarakat, dan memutuskan apakah revisi RUU KPK itu perlu atau tidak untuk dilakukan.
Menurut Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM Zainal Arifin Mochtar, Surpres Revisi RUU KPK ini penuh kejanggalan. Karena menurut Undang-Undang nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Presiden memiliki waktu 60 hari untuk berpikir sebelum mengeluarkan Surpres.Â
"Apalagi beberapa substansi [RUU KPK] bisa kita perdebatkan, kenapa presiden harus buru-buru tanda tangani surpres?" Ujarnya Rabu, (11/09/19) lalu, seperti yang dilansir CNNIndonesia.com.
Masalah yang harus dihadapi KPK tidak hanya masalah Revisi RUU KPK, namun masalah calon pimpinan KPK periode 2019-2023 yang dianggap tidak kredibel oleh sebagian besar penggiat anti korupsi. Panitia seleksi (Pansel) KPK bentukan Presiden dianggap tidak mampu menemukan capim-capim yang kredibel berdasarkan rekam jejak dan prestasi mereka.
Mereka berbondong-bondong mengajukan keberatan-keberatan dan bukti-bukti terkait capim yang sekarang secara definitif sudah terpilih menjadi Pimpinan KPK periode 2019-2023. Â
Bahkan Ketua KPK terpilih Inspektur Jenderal (Irjen) Polisi Firly Bahuri, ditolak oleh karyawan KPK dan berbagai pihak karena diduga telah melakukan pelanggaran kode etik. Kendati hal itu dibantah namun mereka keukeuh bahwa Firly melanggar kode etik. Karena ada bukti-bukti yang menguatkan tuduhannya.
Akibat terpilihnya Firly jadi Pimpinan KPK periode yang akan datang, saat ini sudah dua petinggi KPK yang mundur. Saut Situmorang salah satu Komisioner KPK dan Tsani Annafari salah satu anggota Dewan Penasehat KPK.
Entah apa yang ada dipikiran Jokowi saat ini, Yang jelas kami rakyat Indonesia berharap, Presiden Republik Indonesia itu ya mengutamakan rakyat Indonesia, bukan menjadikan Parpol pendukung sebagai acuan kebijakannya. Buktikan saja omongan bapak yang katanya "tanpa beban" itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H