Wayang Golek telah dinobatkan oleh Organisasi Pendidikan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) sebagai warisan budaya tak benda dunia atau intangible Cultural Heritage. Seperti diketahui dalam khasanah warisan budaya, terdapat dua kategori yaitu warisan budaya benda (Tangible Cultural Heritage) dan warisan budaya tak benda (Intangible Cultural Heritage)Â
Warisan Budaya Tak Benda adalah segala praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, ketrampilan, serta alat-alat, benda, artefak dan ruang budaya terkait dengannya yang diakui oleh berbagai komunitas, kelompok dan dalam hal tertentu.
Sedangkan Warisan Budaya Benda adalah segala bentuk warisan budaya yang dapat di indrawi, sebagai benda, bangunan, struktur buatan manusia ataupun alamiah yang dapat memberikan nilai budaya bagi pemakainya. Contoh warisan budaya benda adalah: candi, benteng, situs alam, komplek landscape budaya, dll
Sayangnya seiring perkembangan jaman seni tradisional seperti wayang golek di Jawa Barat, Wayang Kulit di Jawa Tengah, Wayang Bali, Wayang Betawi, Wayang  Orang dan beberapa daerah lain yang mempunyai seni perwayangan. Tidak begitu diminati, nyaris ditinggal pemirsanya.
Pertunjukan seni kontemporer dan modern telah menggerus habis pasar seni tradisional. Wayang yang jaman tahun 1960-1970an sering kali di jadikan sarana hiburan bagi rakyat umum. Ketika pernikahan dilangsungkan, hiburannya wayang semalam suntuk. Ketika peresmian-peresmian wayang selalu jadi alternatif utama hiburannya.
Sekarang hiburan dalam pernikahan yang disajikan paling tidak dangdutan. Mungkin sejuta dibanding 1 Â yang masih menyajikan hiburan wayang. Alasannya karena terlihat kuno juga mahal sekali mengingat peralatan gamelan yang mengiringi seni wayang sangat banyak, belum lagi pemainnya. Yah pokoknya ribet lah.
Tidak ada cara lain bagi seni tradisional selain harus beradaptasi dengan keberadaan jaman yang terus berubah. Apalagi jaman now, jaman digitalisasi. Walaupun dalam saat bersamaan seni tradisional harus tetap berada dalam pakem-pakem yang telah digariskan untuk tetap menjaga ketradisionalannya.
Wayang yang merupakan bagian dari seni tradisional, juga harus beradaptasi dengan kondisi kekinian. Hal ini mulai disadari oleh beberapa dalang dari berbagai jenis wayang. Mereka sudah mulai mentransformasikan wujud pertunjukan wayang klasik menjadi lebih segar dan kekinian.
Namun tidak mudah memodernisasi wayang karena ada pakem-pakem yang harus dipegang erat oleh sang dalang agar pertunjukannya itu masih bisa disebut wayang.untuk terlihat modern yang sering dilakukan oleh para dalang adalah membuat karakter baru dalam wayang cuma sebatas ituÂ
Beberapa tahun lalu saya pernah terlibat dan membantu pedepokan seni wayang Golek, yang bernama Wayang Ajen, sebuah seni pertunjukan wayang golek modern dengan dalang Wawan Gunawan. Ia dalang yang cukup modern dan memiliki pikiran terbuka terhadap perubahan. Mungkin karena latar belakangnya yang merupakan ASN di Kemendikbud dan berpendidikan master, membuat pikirannya terbuka.
Suatu saat saya pernah terlibat dalam proses produksi Wayang Ajen dalam memperingati ulang tahun ASEAN di Gedung Kesenian Jakarta. Kami saat itu mencoba mengkolaborasikan wayang golek dengan wayang kontemporer yang terbuat dari fiberglass dan disorot dengan lampu khusus yang diciptakan oleh seniman asal bandung bernama Tavip. Jadi seperti wayang kulit yang dilihat bayangannya namun, bayangan dalam wayang fiber ini berwarna-warni pergerakannya sangat luwes. Sekarang wayang itu disebut wayang Tavip. Kolaborasi kami itu kami sebut sebagai Wayang Kakufi (kayu Kulit dan Fiber)
Kami di beri waktu oleh panitia peringatan Ulang Tahun ASEAN selama 30 menit saja untuk memainkan pertunjukan wayang. Berbeda dengan wayang-wayang klasik tradisional semalam suntuk atau paling tidak 6 jam. Dalam wayang klasik dalang merupakan tokoh sentral yang menentukan seluruh pertunjukan wayang dan biasanya dilakukan tanpa latihan sama sekali karena sang dalang dan para pemain gamelannya sudah memahami betul arah pertunjukannya dan lakonnya memang sudah dimainkan berkali-kali.Â
Namun kami saat itu berdiskusi secara tim, dalang cuma menetapkan koridor-koridor pakem ketradisionalan pertunjukan wayang saja dan kemudian memainkan wayangnya, jalan cerita dan dialog itu hasil kerja bersama. Cerita yang kami ambil saat itu adalah cerita Ramayana tentang Rama dan Shinta, judulnya"Shinta Obong" yang menceritakan saat Rama meragukan kesucian Shinta, kesucian cinta dan jasmaninya, setelah sekian lama berada dalam penguasaan Rahwana.Â
Setelah Rama berjuang keras akhinya Shinta kembali kepelukannya, namun ada keraguan dalam hati Rama tentang kesucian jasmani dan cinta Shinta kepadanya karena bujuk rayu Rahwana. Bertekad untuk membuktikan kesuciannya. Shinta, memerintahkan para punggawa istana untuk menumpuk kayu hingga menggunung di halaman istana. Punggawa istana membakar tumpukan kayu tersebut.Â
Sesaat kemudian, keluarlah api yang panas serta dahsyat. Banyak orang tidak berani mendekat karena panasnya api yang bergelora. Shinta dengan langkah yang anggun dan gemulai, membusungkan dadanya, mendekati kobaran api yang makin lama makin membara. Shinta berdiri tenang di ujung tangga di dekat api yang berkobar menyala.Â
Lakon ini normalnya akan memakan waktu paling tidak 6 jam pertunjukan untuk bisa menyampaikan pesan yang ada dalam cerita tersebut. Namun kami harus menyampaikan itu selama 30 menit saja. Karena itu kami coba menyampaikan dialog-dialognya secara explisit tidak seperti normalnya wayang yang kata-katanya penuh simbolik dan implisit, selalu ada maksud tersembunyi jika kita mendengar bahasa perwayangan.Â
Selain itu kami berlatih dengan detil bagaimana musik itu harus pas dan mengena dengan gerakan-gerakan wayang, oh ya kami memakai bahasa Indonesia dan Inggris sebagai bahasa pengantarnya. Â Seperti halnya wayang modern saat itu kami masukan unsur musik pentatonis, ditengah permainan gamelan tradisional yang di sinkronisasi memakai software musik yang ada di laptop. Pertunjukan itu mendapat sambutan luar biasa dan boleh lah dikatakan sukses.
Selain dengan Wayang Tavip, Wayang Ajen juga berkolaborasi dengan wayang orang dan penari. Hal ini mulai dilakukan sekitar 10 tahun yang lalu sebelum wayang-wayang modern bermunculan, saat itu kalau dari wayang kulit ada Ki Dalang Entus Susmono (alm) yang memiliki kemiripan dalam modernisasi perwayangan seperti yang dilakukan Wayang Ajen.
Menurut saya Wayang Ajen dengan dalang Wawan Gunawan, merupakan salah satu pelopor modernisasi pertunjukan wayang, bukan hanya secara fisik pertunjukannya namun mindset sang dalang dan para pemain dan kru pendukungnya sudah modern. Sehingga ketika transformasi itu dilakukan tidak begitu sulit mengeksekusinya.Â
Sumber: wayangku.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H