Kami di beri waktu oleh panitia peringatan Ulang Tahun ASEAN selama 30 menit saja untuk memainkan pertunjukan wayang. Berbeda dengan wayang-wayang klasik tradisional semalam suntuk atau paling tidak 6 jam. Dalam wayang klasik dalang merupakan tokoh sentral yang menentukan seluruh pertunjukan wayang dan biasanya dilakukan tanpa latihan sama sekali karena sang dalang dan para pemain gamelannya sudah memahami betul arah pertunjukannya dan lakonnya memang sudah dimainkan berkali-kali.Â
Namun kami saat itu berdiskusi secara tim, dalang cuma menetapkan koridor-koridor pakem ketradisionalan pertunjukan wayang saja dan kemudian memainkan wayangnya, jalan cerita dan dialog itu hasil kerja bersama. Cerita yang kami ambil saat itu adalah cerita Ramayana tentang Rama dan Shinta, judulnya"Shinta Obong" yang menceritakan saat Rama meragukan kesucian Shinta, kesucian cinta dan jasmaninya, setelah sekian lama berada dalam penguasaan Rahwana.Â
Setelah Rama berjuang keras akhinya Shinta kembali kepelukannya, namun ada keraguan dalam hati Rama tentang kesucian jasmani dan cinta Shinta kepadanya karena bujuk rayu Rahwana. Bertekad untuk membuktikan kesuciannya. Shinta, memerintahkan para punggawa istana untuk menumpuk kayu hingga menggunung di halaman istana. Punggawa istana membakar tumpukan kayu tersebut.Â
Sesaat kemudian, keluarlah api yang panas serta dahsyat. Banyak orang tidak berani mendekat karena panasnya api yang bergelora. Shinta dengan langkah yang anggun dan gemulai, membusungkan dadanya, mendekati kobaran api yang makin lama makin membara. Shinta berdiri tenang di ujung tangga di dekat api yang berkobar menyala.Â
Lakon ini normalnya akan memakan waktu paling tidak 6 jam pertunjukan untuk bisa menyampaikan pesan yang ada dalam cerita tersebut. Namun kami harus menyampaikan itu selama 30 menit saja. Karena itu kami coba menyampaikan dialog-dialognya secara explisit tidak seperti normalnya wayang yang kata-katanya penuh simbolik dan implisit, selalu ada maksud tersembunyi jika kita mendengar bahasa perwayangan.Â
Selain itu kami berlatih dengan detil bagaimana musik itu harus pas dan mengena dengan gerakan-gerakan wayang, oh ya kami memakai bahasa Indonesia dan Inggris sebagai bahasa pengantarnya. Â Seperti halnya wayang modern saat itu kami masukan unsur musik pentatonis, ditengah permainan gamelan tradisional yang di sinkronisasi memakai software musik yang ada di laptop. Pertunjukan itu mendapat sambutan luar biasa dan boleh lah dikatakan sukses.
Selain dengan Wayang Tavip, Wayang Ajen juga berkolaborasi dengan wayang orang dan penari. Hal ini mulai dilakukan sekitar 10 tahun yang lalu sebelum wayang-wayang modern bermunculan, saat itu kalau dari wayang kulit ada Ki Dalang Entus Susmono (alm) yang memiliki kemiripan dalam modernisasi perwayangan seperti yang dilakukan Wayang Ajen.
Menurut saya Wayang Ajen dengan dalang Wawan Gunawan, merupakan salah satu pelopor modernisasi pertunjukan wayang, bukan hanya secara fisik pertunjukannya namun mindset sang dalang dan para pemain dan kru pendukungnya sudah modern. Sehingga ketika transformasi itu dilakukan tidak begitu sulit mengeksekusinya.Â
Sumber: wayangku.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H