Seperti, ketika sang ayah mengakui telah membuang handphone Reda di tong sampah. Padahal tong sampah itu sudah tertinggal di belakang sejauh 300 KM. Atau, ketika Reda ingin berhenti di Milan, Sekadar jalan-jalan dan memotret. Tapi ayahnya menolak dengan tegas, "Kau pikir kita sedang pesiar, berhenti di setiap kota?" Tak ada kompromi.Â
Tiba-tiba ketika mulai memasuki Yugoslavia seorang nenek-nenek bisu menerobos masuk  dan kemudian menumpang mobil mereka. Nenek ini lah yang kemudian membawa mereka menuju Beograd. Padahal sebelumnya mereka berdebat di sebuah pertigaan untuk menentukan arah mana menuju Beograd. namun sesampainya di Beograd ketegangan antara keduanya terjadi hanya karena sang anak merasa tidak nyaman dengan kehadiran nenek itu.Â
Memasuki Bulgaria mereka dihadang oleh badai salju yang sempat membuat sang ayah harus dirawat disebuah rumah sakit, namun karena tekad kuatnya untuk segera sampai di Mekah, kesehatan sang ayah bisa pulih dengan cepat.Â
Dan perjalanan kembali dilanjutkan. Badai salju terus berlangsung akhirnya memaksa mereka untuk beristirahat sejenak di sebuah gubuk, mereka bercakap-cakap Reda bertanya kepada ayahnya, kenapa ayahnya tidak naik pesawat saja, sang ayah kemudian menjawab dengan bijak "Saat air laut naik ke langit, rasa asinnya hilang dan murni kembali. Air laut menguap naik ke awan. Saat menguap, ia menjadi tawar. Itulah sebabnya, lebih baik naik haji berjalan kaki daripada naik kuda. Lebih baik naik kuda daripada naik mobil. Lebih baik naik mobil daripada naik kapal laut. Lebih baik naik kapal laut daripada naik pesawat."Â
Bulgaria berhasil mereka lewati, untuk kemudian memasuki Turki. Ketika mereka memasuki check point di perbatasan Turki ternyata paspor Reda bermasalah, untung ada seorang yang bernama Musthopa membantu dan mereka berhasil mengatasi masalah tersebut. Orang itu  kemudian menumpang, dan perjalanan dilanjutkan.Â
Dalam perjalanan Musthopa mengajak Reda mampir di rumahnya kemudian ia mengungkapkan keinginannya untuk ikut berhaji menuju Mekah, ditengah jalan ketika mereka istirahat. Mustopha Mengajak Reda mabuk-mabukan dan dilalahnya uang milik ayahnya pun di sikat Musthopa, kemudian dia kabur. sang ayah  marah kepada Reda,  seraya berucap " kau bisa baca tulis, tapi buta akan kehidupan"
Di tengah kesedihan karena kehilangan uang mereka mulai memasuki Syiria menuju Damaskus, Bahan bakar habis uang tak ada begitulah pikiran Reda, dia berpikir untuk menghentikan saja perjalanan itu, Â namun tiba-tiba sang ayah mengeluarkan uang dari lipatan sabuknya. Kemudian sang ayah mengutarakan niatnya untuk menjual mobil tersebut buat biaya mereka pulang nanti.
Bahwa ketika orang yang sama-sama keras hatinya, harus saling menurunkan egonya masing-masing agar konflik tak semakin meruncing dan menggagalkan rencana baik. Dalam hal ini, sang ayah telah berhasil dengan bijak memulainya.
Dan Perjalanan kembali berlanjut memasuki Yordania, sang ayah kemudian membeli domba bagi kebutuhan kurban di saat menunaikan ibadah haji nanti, eh ditengah jalan Reda mulai marah karena terganggu dengan suara dan bau kambing yang disimpan di kursi belakang, ia keluar dan berniat menyembelih kambing tersebut, namun sayang kambing kabur, ia merasa bersalah dan kemudian meminta maaf pada sang ayah.Â
Ketika sang ayah meminta dia berhenti dan kemudian turun untuk melaksanakan shalat, Reda menemukan uang yang cukup banyak dalam kaos kaki ayahnya. Redapun tertawa lega, hampir menangis. Mungkin dalam hati mulai mengagumi ayahnya. Mereka menginap sejenak di hotel, meluruskan punggung. Ayahnya berkelit kalau uang itu diberikan oleh konsulat Perancis. Menurut ayahnya, itu sudah sebanding dengan jumlah yang telah dicuri oleh Mustopha.Â
Di hotel, lagi-lagi mereka berdebat mengenai asal-usul uang tersebut. Perdebatan itu membuat Reda marah, kemudian ia keluar dan menghabiskan waktu di klub malam, kemudian membawa seorang pelacur ke kamarnya ketika sedang berduaan dengan wanita tersebut masuklah sang ayah ke kamar, murka lah ia. Saking marahnya ia akhirnya memutuskan melanjutkan perjalanannya tanpa anaknya. Reda akhirnya meminta maaf.Â