Nah, karakteristik utang pemerintah sekarang lebih banyak berhutang ke pasar, 82, 81% utang pemerintah didapat dari  menjual surat utang. Hasil penjualan surat utang tersebut bentuknya tunai dan langsung masuk dalam pot yang sudah disiapkan pemerintah, dengan peruntukan untuk menambal defisit antara pendapatan dan belanja pemerintah. Termasuk di dalamnya belanja rutin, seperti membayar gaji ASN, membayar cicilan utang dan untuk membiayai pembangunan.
Harus diakui selama  4 tahun pemerintah Jokowi  utang pemerintah tumbuh pesat. Pada tahun 2014 utang Pemerintah sebanyak Rp 2.609 triliun dan per Juni 2019 sudah mencapai Rp 4.570 triliun, yang berarti meningkat sebesar 65,6%. Pada kurun waktu yang sama, rasio utang naik dari 24,7 persen menjadi 30,1 persen.Â
Untuk pembayaran cicilan pokok utang luar negeri saja per akhir Juni 2019 ini pemerintah telah mengeluarkan uang sebesar Rp. 43, 52 triliun dan pinjaman untuk pembayaran cicilan pokok pinjaman dalam negeri sebesar RP 580 milyar. Peningkatan utang yang relatif pesat selama pemerintahan Jokowi antara lain disebabkan oleh kenaikan tajam pengeluaran yang tidak diiringi oleh peningkatan rasio pajak (tax ratio).
Namun demikian Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa pemerintah mengelola utangnya dengan aman. Hal itu tercermin dari realisasi rasio defisit yang hanya sebesar 0,84 persen. Angka ini masih di bawah batasan aturan defisit APBN sebesar 3% seperti yang diatur Undang-Undang Nomor 17 Â tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.Â
"Pembiayaan negara hingga akhir 2019 ini, akan mencapai 105% dan rasio utang akan tetap terjaga kok dibawah 30% atau sekitar 29,5%an lah dan satu hal yang terpenting kita mampu kok bayar utang, tidak pernah juga gagal bayar kan selama ini?" Ujar Sri Mulyani.
Referensi:
kemenkeu.go.id
faisalbasri.com
cnnindonesia.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H