Kementerian Keuangan mencatat hingga Juni 2019 utang pemerintah pusat naik 8,1% dibanding periode yang sama tahun 2018 lalu yang berjumlah Rp.4.227,78 triliun, menjadi Rp.4.570,71 triliun.Â
Seperti yang dikutip dari APBN KITA Kemenkeu, komposisi utang sebesar itu terdiri dari, Surat Berharga Negara (SBN) mendominasi porsi utang negara sebesar 82,81% dari seluruh utang pemerintah pusat dengan nilai Rp. 3.784,84 triliun, dengan rincian, SBN berdenominasi rupiah sebesar Rp. 2.735,76 triliun, dan SBN Valuta Asing berjumlah Rp. 1.048,8 triliun.
Sementara 17, 19% sisa utang pemerintah berupa pinjaman dari pihak lain senilai Rp. 785,61 triliun. Mayoritas  pinjaman tersebut berasal dari asing, jumlahnya Rp.778, 64 triliun, sisanya merupakan pinjaman dari dalam negeri sebesar Rp.6,97 triliun.
Analoginya begini, gaji kita Rp 10 juta sedangkan utang yang harus kita bayar senilai Rp. 3 juta, kira-kira kita mampu bayar ga? Ya mampulah asal ada niat bayar tentunya, secara kemampuan kita mampu bayar utang tersebut. Namun demikian kita harus tetap waspada, dan satu hal lagi kita berutang itu untuk apa, kegiatan-kegiatan konsumtif kah atau berhutang untuk memberikan nilai tambah di kemudian hari, agar kita bisa lebih produktif?
Mari kita liat terminologi utang sendiri, utang adalah sumber pembiayaan yang berada diluar kemampuan diri kita. Indonesia sebagai negara berkembang dan sedang membangun lumrah saja memiliki utang, karena sebagai negara, Indonesia itu seperti negara yang sedang tumbuh dan membutuhkan asupan lebih banyak dan bergizi sementara kemampuan untuk memproduksinya masih kurang. Makanya untuk menutupi hal tersebut maka Indonesia harus berutang. Agar mampu tumbuh menjadi negara maju yang memiliki penghasilan tinggi, supaya tidak terjebak dalam kondisi "middle income trap".Â
Utang pemerintah itu merupakan bagian tidak terpisahkan dari kebijakan ekonomi pemerintah, khususnya ekonomi fiskal. Berutang bukan juga sesuatu yang hina dan menjadi aib. Hampir semua negara di dunia ini berutang tidak peduli negara itu miskin atau kaya, negara besar atau negara kecil, negara yang memiliki sistem kerajaan, liberal atau komunis sekalipun.Â
Bahkan negara yang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) nya surplus sekalipun tetap berutang, Jerman misalnya tetap saja pemerintahnya menerbitkan surat hutang, walau dengan tujuan yang berbeda yaitu untuk menebus surat hutang lama yang suku bunganya tinggi dengan suku bunga yang lebih rendah (reprofiling).Â
Jadi masalah utang ini bukan masalah besar kecilnya utang, namun bagaimana kita mampu memanfaatkan dan mengelola utang itu untuk kegiatan produktif. Supaya tujuan makroekonomi jangka panjang bisa tercapai melalui pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Namun demikian tidak berarti juga pemerintah Indonesia bisa semena-mena berutang untuk tujuan-tujuan tidak jelas, untuk hal  tidak produktif yang tidak berdampak untuk kesejahteraan rakyat ke depannya. Masih dikutip dari APBN KITA Juni 2019 Kemenkeu, peruntukan utang Indonesia untuk membiayai berbagai program pemerintah di bidang struktural dan sektoral, seperti bidang kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial, dan infrastruktur. Memang tidak seperti  jaman orde baru yang utang pemerintah itu seluruhnya untuk modal pembangunan ( (Capital Expenditure) (CAPEX) ).Â
Karena Karakteristik utangnya pun berbeda, di jaman orde baru utang Indonesia 100% dari pinjaman langsung negara lain baik secara multilateral maupun bilateral seperti Intergovermental Group on Indonesia atau biasa di sebut IGGI yang kemudian dibubarkan dan berganti nama jadi Consultative Group on Indonesia (CGI). Pinjaman yang mereka berikan pun bukan dalam bentuk uang tunai, namun berbentuk proyek-proyek seperti pembangunan jembatan, pembangunan jalan dan lain sebagainya.Â