Mohon tunggu...
Fery. W
Fery. W Mohon Tunggu... Administrasi - Berharap memberi manfaat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penikmat Aksara, Musik dan Tontonan. Politik, Ekonomi dan Budaya Emailnya Ferywidiamoko24@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Ilustrasi Perekonomian Saat Mudik Lebaran

13 Mei 2019   11:34 Diperbarui: 14 Mei 2019   11:37 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Kemacetan di jalur Pantura sering kali juga disebabkan munculnya pasar tumpah. (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

Bulan Ramadhan memasuki minggu ke-dua, hari Raya Idul Fitri a.k.a Lebaran pun menjelang. Aktifitas religi, sosial, budaya, dan ekonomi akan terus berputar tambah kencang. Atmosfer Indonesia mulai akan terisi oleh wanginya hawa Lebaran, menyeruak ke hampir setiap sendi kehidupan. 

Walaupun ada penggalan cerita politik yang belum usai, semoga urusan itu bisa berakhir baik. Sehingga momentum lebaran bisa menjembatani rekonsiliasi sosial dan lebaran menjadi hangat oleh rasa kekeluargaan.

Kehangatan keluarga inilah yang mendorong aktivitas sosial "Mudik" menjadi seperti sebuah kewajiban budaya bagi para perantau diberbagai kota besar, kembali ke grassroots, tanah di mana mereka berawal yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. 

Aktivitas mudik seperti yang terjadi di Indonesia, terjadi juga di negara lain, hanya agama, budaya dan keluarga lah alasan yang mampu menggerakan manusia dalam waktu hampir bersamaan bergerak dari satu tempat ke tempat lain secara masif. 

Di China untuk merayakan Imlek pada awal tahun 2019 lalu warga China bergerak melakukan perjalanan  mudik sebanyak 3 milyar perjalanan dalam beberapa hari sebelum dan setelah Imlek, tradisi yang mereka sebut Chunyun ini menurut Forbes angkanya naik 2,2 persen dari tahun sebelumnya. 

Di India negeri dengan jumlah penduduk nomor 2 di dunia ini memiliki Festival of Light atau Diwali yang merupakan salah satu hari raya umat Hindu. Dan ada beberapa negara lain dengan alasan yang sama melakukan mudik dengan alasan yang sama namun  istilah yang berbeda.

Di Indonesia mudik biasanya akan mulai dilakukan seminggu sebelum dan seminggu setelah lebaran, dan ini merupakan salah satu kerja besar rutin pemerintah Indonesia di pusat maupun daerah. 

Butuh effort yang lumayan besar untuk melayani pemudik ini. Keamanan dan kenyamanan menjadi prioritas pemerintah dalam mengawal pemudik pergi pulang. 

Jumlah pemudik di Indonesia pada tahun lalu 2018, menurut catatan Kementerian Perhubungan mencapai 18.603.081 orang. Angka tersebut tumbuh sekitar 2,44% jika dibandingkan tahun 2017 yang mencapai 18.160.668 orang.

Jika fenomena mudik Lebaran ini dikelola dengan baik oleh pemerintah maka tradisi ini akan memberi manfaat besar bagi perekonomian nasional, ada tiga esensi apabila kita tinjau dari sisi ekonomi dalam exodus jaman modern ini.

Esensi pertama, aktivitas mudik termasuk di dalamnya arus balik, akan menciptakan perputaran uang yang sangat besar dan serentak (velocity of money). 

Ratusan triliun berputar dari kota ke kota, dari kota ke desa dari desa ke perkampungan kecil. Secara aggregat, value of money-nya tidak hanya berbentuk tunai, tetapi bisa juga berbentuk bahan makanan "oleh-oleh kota", baju baru, bahkan alat-alat elektronik, kendaraan roda dua atau empat, dan berbagai barang kebutuhan lainnya. 

Bayangkan, menurut Kementerian Perhubungan potensi pemudik 2019 ini  di pulau Jawa saja, mencapai  18.29 juta orang pemudik diasumsikan masing-masing  menghabiskan uang sebesar antara Rp. 2,5 juta - 5 juta /orang  berarti akan terjadi transfer uang ke daerah antara Rp. 45, 725 triliun - Rp. 91,45 trliun. 

Bahkan, apabila ditambahkan dengan unsur pemudik seperti Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang membawa valuta asing hasil kerjanya berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun di luar negeri maka jumlahnya akan lebih besar lagi.

"Butuh effort yang lumayan besar untuk melayani pemudik ini. Keamanan dan kenyamanan menjadi prioritas pemerintah dalam mengawal pemudik pergi pulang. Jumlah pemudik di Indonesia pada tahun lalu 2018, menurut catatan Kementerian Perhubungan mencapai 18.603.081 orang. Angka tersebut tumbuh sekitar 2,44% jika dibandingkan tahun 2017 yang mencapai 18.160.668 orang."

Dalam pendekatan teori ekonomi hal ini bisa dikategorikan sebagai redistribusi aset atau redistribusi kekayaan, yakni terjadinya perpindahan kekayaan (uang) dari satu daerah ke daerah lain atau dari satu individu ke individu lain. 

Redistribusi aset dalam mudik lebaran bisa dibagi menjadi dua tipe pemudik. Tipe pertama pemudik sektor pekerja formal berpenghasilan tinggi, tipe kedua sektor pekerja informal yang berpenghasilan rendah, tipe ini biasanya terdiri dari pedagang baso, buruh bangunan, Asisten Rumah Tangga, Penjual Jamu, dan Pedagang Kaki Lima. 

Kelompok ini biasa melakukan redistribusi ekonominya dengan cara membelanjakan uangnya untuk kebutuhan membetulkan tempat tinggalnya di kampungnya, membeli barang-barang elektronik, perhiasan emas, dan membeli berbagai kebutuhan pokok dalam jumlah besar, atau bahkan sebagian orang menginvestasikan uangnya untuk membangun usaha baru di kampungnya. 

Tipe yang pertama, biasanya bekerja sebagai pegawai negeri, bankir, dokter, pengacara,  karyawan swasta dan lain sebagainya. walaupun yang dibelanjakan relatif tidak jauh berbeda dengan tipe kedua mereka juga membagi-bagikan kepada sanak familinya dikampung, menyewa tukang cuci, sopir pribadi dan lainnya.

Dengan fakta tersebut diatas, tradisi mudik ternyata memang akan menciptkan redistribusi aset ekonomi dari kota-kota besar  ke kota yang lebih kecil dan seterusnya. 

Hal ini bisa memberikan stimulan bagi aktivitas produktif masyarakat dan menumbuhkan perekonomian daerah. dalam titik tertentu, kondisi ini bisa pula membentuk kemandirian daerah, agar tidak selalu tergantung kepada pemerintah pusat.

Esensi kedua, tradisi mudik akan memberikan pengaruh positif pada keberadaan dan kualitas infrastruktur. Sebagai contoh, di Pulau Jawa keberadaan Tol Trans Jawa yang terbentang dari Merak sampai dengan Surabaya  membuat aktivitas mudik bisa lebih nyaman dan cepat. Para pemudik memiliki banyak sekali jalur alternatif untuk menuju daerah tujuannya. 

Di Sumatera bagian Selatan mulai dari Bakauheni sampai dengan Palembang sepanjang 380 Km tol terpanjang di Sumatera ini telah rampung dan bisa dipakai untuk mudik tahun ini. Begitupun Bandara dan Pelabuhan  di berbagai daerah di Indonesia. Salah satu tujuan pembangunan infrastruktur ya untuk memudahkan masyarakat dalam melakukan perjalanan mudik lebaran.

Esensi ketiga, aktivitas mudik lebaran tentu saja menjadi salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi nasional, karena tingginya konsumsi yang terjadi pada saat dan/atau sebelum dan setelahnya aktivitas mudik tersebut. 

Biasanya penjualan kendaraan baik itu roda empat atau roda dua meningkat menjelang mudik. Selain itu konsumsi kebutuhan pokok, sandang atau bahkan properti pun akan terkerek naik seiring dengan mudik lebaran. Besarnya volume pemudik, membuat nilai konsumsi agregat yang dihasilkan menjadi sangat besar, bahkan bisa mencapai ratusan triliun rupiah. 

Terkait hal tersebut, maka kuartal ke II tahun 2019 yang bertepatan dengan hari lebaran diprediksi akan menjadi puncak pertumbuhan ekonomi Indonesia seiring dengan konsumsi yang juga akan mencapai puncaknya pada saat ramadhan dan lebaran. 

"Momentum tersebut selalu menjadi puncak konsumsi domestik sehingga masih ada peluang pertumbuhan ekonomi kuartal II 2019 bisa melaju 5,25%-5,3% jika pertumbuhan konsumsi mencapai 5,15%," kata Ahmad Mikail Ekonom dari Samuel Securities Indonesia. Kebutuhan uang kartal pada saat Lebaran dan arus mudik 2019 menurut prediksi Bank Indonesia akan mencapai Rp. 217,1 triliun naik 13, 5 persen dibanding tahun 2018 yang sebesar Rp. 191,3 triliun.

Dari dampak ekonomi yang ditimbulkan aktivitas mudik yang merupakan salah satu bagian dari rentetan kegiatan lebaran yang tidak hanya berarti leburan atau saling memaafkan tetapi juga dapat dimaknai sebagai luberan. karena memiliki kelebihan maka sebagian orang mampu berbagi dengan sanak saudara berbagi uang  maka terjadilah redistribusi aset 

Berbagai keuntungan memang bisa kita dapatkan dari aktivitas mudik yang berlangsung tiap tahun ini, tetapi perlu lah kiranya memberi catatan sebagai bahan evaluasi sekaligus renungan, terutama terkait dengan struktur perekonomian nasional secara keseluruhan.

Pertama, apakah fenomena dampak ekonomi mudik  berupa sebaran pertumbuhan antar daerah yang merata dan dipicu oleh sektor konsumsi bisa dipertahankan terus sepanjang tahun? Rasanya agak sulit kalau kita harus terus menerus berharap pertumbuhan ekonomi ditopang oleh pola konsumsi yang tidak berkelanjutan seperti aktivitas mudik ini.

Kedua, seandainya fenomena mudik ke daerah-daerah asal bisa dipermanenkan,maka imajinasi kita tentang pemerataan pertumbuhan di setiap daerah akan semakin dekat. Selama ini banyak tenaga kerja terampil di daerah yang lebih memilih merantau, dan ujung-ujungnya terjebak dengan kenikmatan pola aglomerasi di beberapa kutub-kutub industri. 

Alasan rasionalnya tentu karena ekspektasi kesejahteraan yang lebih menjanjikan. Pola aglomerasi pada satu sisi memang bisa meningkatkan efisiensi karena didukung adanya media untuk meningkatkan efektivitas transaksi ekonomi. 

Namun bagi daerah-daerah yang lain sangat mungkin hanya menikmati tetesan-tetesan yang tersisa sebagai wilayah penyangga. Tindakan rasional yang  perlu disusun dengan matang adalah  pembentukan beberapa faktor fundamental. 

Minimal, faktor-faktor produksi dasar aktivitas ekonomi (misalnya kualitas infrastruktur, SDM, bahan baku, layanan permodalan, juga pusat keterampilan melalui pendidikan dan kesehatan) bisa disediakan oleh pemerintah daerah.  

Ketiga, fenomena mudik bisa berdampak positif secara psikologis terhadap masyarakat di daerah. Bagi kalangan migran, mudik adalah sebuah simbol kesuksesan secara moral dan ekonomi di tanah perantauan. Karena dengan kemampuannya untuk melakukan mudik, perantau dapat dianggap sukses mengelola sebagian saving-nya. 

Sayang nya justru simbol kesuksesan yang dinisiasi oleh para pemudik, cenderung disalah artikan oleh mereka menjadi sebuah keinginan untuk berurbanisasi,  bukan meras  terdorong memajukan daerahnya sendiri.  Efeknya urbanisasi makin masif terjadi, dan sebagian menjadi beban pihak lain.

Sudah saatnya bagi pemerintah daerah maupun desa untuk semakin membangkitkan jiwa nasionalismenya melalui jalur kebijakan pembangunan ekonomi masyarakatnya. 

Jiwa-jiwa "parahita" (memperhatikan kesejahteraan orang lain) yang terbukti tumbuh subur selama aktivitas mudik selama ini, dapat dilanjutkan sebagai media modal sosial yang semakin kuat. Mudah-mudahan pemerataan kemenangan yang terjadi pada setiap Lebaran kemarin mampu kita pertahankan.

Sumber: Kemenkeu.go.id | BI.go.id | Kemenhub.go.id | feb.ub.ac.id | cnnindonesia.com  | kontan.co.id | idntimes.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun