Umat muslim di Indonesia mulai melaksanakan ibadah puasa wajib di bulan Ramadan. Tradisi bulan Ramadhan di Indonesia merupakan campuran antara penguatan di sisi religi dengan praktik budaya yang mengiringnya.Â
Apabila kita melihat dari sisi ekonomi terdapat keunikan mengiringi momentum Ramadan ini. Di satu sisi ibadah puasa merupakan sebuah proses pembelajaran dalam mengekang hawa nafsu duniawi, tapi di sisi lain konsumsi masyarakat di bulan Ramadan berkali lipat dibanding bulan-bulan yang lain.
Tren konsumsi biasanya naik sangat tajam yang klimaksnya terjadi beberapa hari menjelang Ramadan berakhir, seiring turunnya tunjangan hari raya (THR) yang diterima hampir seluruh tenaga kerja.
Ditambah lagi dengan donasi-donasi sosial yang berbau religius seperti zakat mal misalnya. Efeknya akan mengerek daya beli kaum prasejahtera dalam jangka waktu yang pendek dan serentak.
Jadi selain berkaitan dengan asumsi hal-hal mikro seperti perubahan tingkat konsumsi, daya beli, dan berbagai ekspektasi lain, Bulan Ramadan diasumsikan berkorelasi positif terhadap pertumbuhan makroekonomi di daerah maupun nasional.
Makanya atas hal tersebut, pemerintah selalu optimis pertumbuhan ekonomi kita akan meningkat karena faktor musiman seperti Ramadan, lebaran, dan sedikit pada saat natal. Faktor pendorongnya adalah meningkatnya spending dari sektor rumah tangga yang naik secara signifikan.
Bahkan Alfamart memprediksi penjualan di bulan penuh berkah ini akan tumbuh 2 kali lipat dibanding bulan-bulan biasa, dari 8,5 persen menjadi lebih dr 16 persen. (Month to month).
Kendati begitu dalam prosesnya hal seperti ini harus diwaspadai, mengingat konsumsi merupakan faktor yang dipengaruhi (dependan) ketimbang faktor mempengaruhi (independan).