Harapannya pertanyaan-pertanyaan ini bisa terjawab dalam aturan pelaksananya yang katanya akan berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Dan terakhir mengenai efektifitas kenaikan PPN terhadap upaya meningkatkan penerimaan negara agar APBN 2025 menjadi lebih sehat, seperti yang berulang kali disampaikan oleh Menkeu Sri Mulyani.
Berapa kira-kira estimasi penerimaan negara dari kenaikan PPN 12 persen khusus bagi barang dan jasa kategori premium ini?
Apakah angkanya melebihi nilai insentif yang diberikan dalam rangka menahan "gejolak" akibat kenaikan tarif PPN?
Jika estimasi pendapatan dari kenaikan PPN khusus barang dan jasa kategori mewah dan premium tersebut tidak lebih besar atau lebih besar sedikit dari insentif yang diberikan, mengapa kenaikan PPN itu harus tetap dilaksanakan?
Kecuali memang ada tujuan lain dari kenaikan PPN tersebut yang oleh Pemerintah dianggap sangat strategis, sehingga memaksa Pemerintah menaikan PPNÂ at all cost.
Apabila ada, sudah sepatutnya Pemerintah menjelaskan secara gamblang hal tersebut kepada masyarakat, agar kami masyarakat dapat memahaminya.
Alasan demi menunaikan amanat Undang-Undang HPH seperti yang selama ini didengung-dengungkan rasanya terlalu naif, toh UU HPH itu bukan kitab suci yang tak bisa diubah, Pemerintah dalam hal ini Presiden bisa saja mengubah satu pasal dalam UU HPH tersebut dengan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) misalnya.
Prespektif Kurva Laffer, Kenaikan Pajak Bisa Kontraproduktif
Dalam kondisi ekonomi yang tidak sedang baik-baik saja seperti ini, menaikan PPN malah akan kontraproduktif.
Situasi kontraproduktif sejalan dengan teori yang dipaparkan oleh ekonom Amerika Serikat yang pernah menjadi Penasehat Ekonomi Presiden Ronald Reagan, Arthur Bitz Laffer, yang terkenal dengan konsep Kurva Laffer.
Dalam konsep kurva Laffer yang digagasnya, ia menjelaskan bahwa ada tingkat optimal pajak yang dapat menghasilkan penerimaan pajak maksimum bagi pemerintah, yang ia gambarkan dalam bentuk kurva U terbalik.