Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kenaikan PPN 12%, Mimpi ala Nordic atau Mimpi Buruk Rakyat Indonesia?

22 November 2024   10:37 Diperbarui: 23 November 2024   14:53 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
@Budibukanintel/X.com

Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Value Added Tax (VAT) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025, selain memicu kekhawatiran di tengah masyarakat juga memunculkan perdebatan  pro dan kontra yang cukup menarik di berbagai platform media sosial.

Di platform medsos X, pemilik akun Wibudi @Budibukanintel, menolak cukup keras rencana kenaikan tarif PPN, apabila Negara belum mampu melayani rakyatnya dengan layak, yang ia sampaikan melalui gambar Garuda Biru ala Indonesia darurat dengan tambahan tulisan besar "Taxation Without Representation is a Crime"

@Budibukanintel/X.com
@Budibukanintel/X.com
Postingan ini kemudian mendapat respon cukup meriah dari netizen, seperti biasa, meskipun lebih banyak yang mendukung, tapi ada pula yang tak sependapat.

Salah satu yang tak sependapat, yang artinya mendukung rencana kenaikan tarif PPN adalah akun @Farisrahman_1 dalam bahasa Inggris ia menyampaikan:

"I think if you want to have a Nordic-style welfare state, there's no way around it other than funding it through VAT. This is why European countries have very high VAT rates (>12%)."  

Maksudnya kurang lebih seperti ini, 

"Menurut saya jika anda sekalian ingin memiliki gaya negara kesejahteraan seperti negara-negara Nordic, satu-satunya cara untuk membiayainya ya lewat PPN. Ini lah mengapa negara-negara di Eropa tarif PPN-nya cukup tinggi, diatas 12 persen"

Seraya menunjuk majalah The Economist sebagai rujukannya, serta menambahkan data-data berupa diagram yang berkaitan dengan rendahnya rasio pajak kita dibandingkan negara-negara yang selevel dengan Indonesia.

Welfare State dan Pajak di Negara-Negara Nordic

Memang welfare state yang dianut negara-negara Nordic atau Eropa Utara, seperti Swedia, Norwegia, Denmark, Finlandia, dan Islandia, gayanya macam mana?

Sejatinya hampir semua negara di dunia ini menganut sistem welfare state, tapi dengan praktik, cakupan, dan sistem yang berbeda-beda. 

Mengutip Investopedia, secara umum welfare state adalah sebuah konsep di mana negara memiliki peran aktif dalam melindungi dan meningkatkan ekonomi dan sosial setiap warga negaranya, sehingga kesejahteraannya merata dan terjamin.

Elan ini bukan sekadar janji, melainkan tindakan nyata yang diwujudkan melalui berbagai program dan kebijakan publik. Negara kesejahteraan hadir sebagai respons terhadap ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang seringkali muncul dalam sistem ekonomi pasar bebas.

Konsep intinya adalah negara menyediakan layanan dasar bagi warganya, seperti pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial. Ini dilakukan dengan tujuan agar setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai kualitas hidup yang baik, terlepas dari latar belakang sosial atau ekonomi mereka.

Namun tak semua negara mampu menghadirkan konsep welfare state secara komprehensif, meskipun dalam skala yang berbeda-beda setiap negara pada dasarnya memiliki pendekatan untuk menjadi negara kesejahteraan.

Nah, negara-negara Nordic merupakan contoh yang mengimplementasikan welfare state secara komprehensif dan universal. Mereka menawarkan berbagai macam layanan sosial, termasuk pendidikan gratis, perawatan kesehatan menyeluruh untuk semua warganya, tunjangan pengangguran yang cukup besar, hingga menyiapkan dana pensiun yang layak 

Sementara negara seperti Amerika Serikat misalnya, implementasi welfare state-nya lebih terbatas dengan ragam berbeda karena di sana lebih individualis sifatnya.

Di negara-negara berkembang seperti Indonesia misalnya, implementasinya masih sangat terbatas dilayanan dasar saja, kesehatan untuk mereka yang berada di bawah garis kemiskinan serta pendidikan hingga tingkat dasar.

Untuk bisa mengimplementasikan welfare state ala Nordic itu membutuhkan biaya yang sangat besar dan stabil. Pajaklah menjadi instrumen utama untuk menutupi biaya tersebut, oleh karenanya tarif pajak di negara-negara yang berada di kawasan Eropa Utara itu sangat tinggi.

Mengutip Trading Economics, untuk tahun 2024, tarif Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi di Finlandia mencapai 57 persen, sementara PPh Badan sebesar 20 persen.

Denmark, tarif PPh pribadi 55,9 persen, PPh Badan 23 persen. Swedia tarif PPh Pribadinya mencapai 52,3 persen, sedangkan tarif PPh Badan sebesar 20,6 persen.

Artinya, jika kita berpenghasilan Rp10 juta, yang bisa dibawa pulang ke rumah hanya Rp4,5 -5 juta saja, sisanya diambil negara.

Sementara tarif PPN atau VAT di kawasan Nordic berada di kisaran 23 hingga 25 persen. Belum lagi pajaknya tersebut bersifat progresif, semakin besar penghasilannya semakin tinggi pula tarif pajak yang dikenakannya, diterapkan untuk tujuan redistribusi aset.

Prasyarat Pajak Tinggi ala Nordic

Namun tentu saja, ada prasayarat tertentu agar negara bisa menerapkan tarif pajak yang begitu tinggi, dan rakyatnya dengan rela memberikannya.

Menurut berbagai sumber yang saya rangkum, kunci keberhasilan negara-negara Nordic, dalam membangun sistem kesejahteraan yang kuat terletak pada kombinasi beberapa faktor penting.

Pertama, adanya kesepakatan sosial yang kuat di mana masyarakat percaya bahwa setiap individu berhak atas kehidupan yang layak dan bersedia membayar pajak untuk mendukungnya. 

Kedua, sistem politik yang stabil dan transparan, di mana pemerintah bertanggung jawab dan akuntabel kepada masyarakat. 

Ketiga, layanan publik yang berkualitas tinggi seperti pendidikan dan kesehatan gratis, serta infrastruktur yang baik, membuat masyarakat merasa bahwa pajak yang mereka bayarkan memberikan nilai tambah yang nyata.

Selain itu, sistem pajak yang efektif dan efisien juga menjadi faktor kunci. Pajak progresif yang membebankan pajak lebih tinggi pada orang kaya membantu meredistribusi kekayaan dan membiayai program-program kesejahteraan.

Budaya kerja keras dan solidaritas yang kuat di masyarakat Nordic juga mendorong masyarakat untuk bersedia membayar pajak yang lebih tinggi demi kepentingan bersama.

Stabilitas politik merupakan faktor lain yang tak kalah penting. Konsensus politik yang kuat mengenai pentingnya welfare state serta perubahan kebijakan yang dilakukan secara bertahap dan melibatkan berbagai pihak, membantu menjaga keberlangsungan sistem ini.

Jangan dilupakan, sistem dan pengelolaan Pemerintahannya termasuk birokrasinya dijalankan secara efektif dan efesien pula, kebocoran akibat tindakan koruptif sangat minimal.

Akuntabilitas, dan transparansi disertai integritas tinggi menjadi laku utama dalam menjalankan pemerintahannya.

Kemudian, mereka pun berinvestasi sangat besar terhadap sumber daya manusia, makanya sistem pendidikan di negara-negara Nordic dikenal berkualitas tinggi dan sangat merata.

Di sinilah titik simpangnya, ketika kita akan membandingkan persoalan perpajakan, antara negara-negara yang juga berjuluk Skandinavia dengan Indonesia.

Jangan sampai terkesan cherry picking hanya untuk memperkuat argumennya. Jika urusan tingginya pajak berkaca pada "Nordic Style", tapi dalam hal pengelolaannya lupa bercermin wajah lusuh Pemerintahan Indonesia, yang cenderung tidak efesien, efektif dan koruptif.

Menaikkan tarif pajak itu salah satu Keyword-nya, adalah TRUST!

Trust atau kepercayaan itu tidak given atau terjadi begitu aja tapi harus dibangun lewat tindakan-tindakan nyata.

Pejabat-pejabat di sana jauh lebih egaliter, berlaku dan berpenampilan lebih sederhana dibandingkan di sini.

Para pengurus negaranya berjumlah ramping, gaya hidupnya jauh dari hedon. Coba kita lihat di sini, yang kasat mata saja deh dan jelas-jelas sangat mengganggu, iring-iringan mobil pejabat saat membelah jalan, apa perlunya sih harus dua tiga mobil mengiringi satu orang pejabat?

Terus diokasikan ke mana uang pajak itu? Betul, dalam APBNKita yang dirilis Kementerian Keuangan kita bisa secara detil melihat alokasi anggaran terutama yang berasal dari pajak. 

Namun praktik penggunaannya di lapangan di tingkat Kementerian dan Lembaga serta Pemerintah Daerah, kurang transparan, saya paham dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana sebagian para birokrat terutama para pejabatnya mengakali alokasi anggaran itu

Belum lagi jika berbicara waktu penerapannya, longsoran fakta yang menunjukkan kondisi daya beli masyarakat sedang dalam tren pelemahan akibat berbagai faktor.

Tunda Kenaikan PPN

Sejumlah pengamat ekonomi mengatakan kenaikan tarif PPN bakal menggerus konsumsi masyarakat sehingga potensial memperlambat pertumbuhan ekonomi, yang memang sedang slowing down.

Memang benar, tak semua barang atau jasa terkena kenaikan tarif PPN, kurang lebih ada sekitar 13 item yang tak terkena, termasuk bahan kebutuhan pokok dan layanan jasa pendidikan dan kesehatan.

Namun harus diingat kenaikan tarif PPN akan menambah ongkos setiap produksi. Alurnya mulai dari saat sektor industri membeli bahan baku, untuk diolah menjadi bahan setengah jadi, kemudian bahan setengah jadi tersebut kembali dibeli oleh industri dan itu pasti terkena PPN.

Carilah jalan keluar yang lain untuk menambah pundi-pundi anggaran negara sebelum keukeuh menaikan tarif PPN.

Dan jangan pula mencari justifikasi dengan membandingkan tarif pajak Indonesia dengan negara-negara Nordic, dan lupa bercermin bedanya wajah pengelolaan negaranya antara kita dan mereka.

Penutup

Kenaikan PPN menjadi isu yang kompleks. Di satu sisi, kenaikan PPN dapat meningkatkan pendapatan negara untuk membiayai program kesejahteraan. Namun, di sisi lain, kenaikan PPN dapat membebani masyarakat, terutama kelompok berpendapatan rendah.

Sebelum memutuskan untuk menaikkan PPN, pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk dampaknya terhadap daya beli masyarakat, kesiapan infrastruktur, dan efektivitas pengelolaan anggaran. 

Selain itu, pemerintah juga perlu membangun kepercayaan masyarakat melalui transparansi dan akuntabilitas.

Intinya, kenaikan PPN bukanlah solusi tunggal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah perlu mencari solusi yang lebih komprehensif, termasuk dengan meningkatkan efisiensi belanja negara, memperluas basis pajak, dan memberantas korupsi.

Kenaikan PPN adalah pisau bermata dua. Jika tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas layanan publik, transparansi, dan akuntabilitas, maka kebijakan ini hanya akan membebani rakyat tanpa memberikan manfaat yang signifikan. 

Pemerintah harus belajar dari keberhasilan negara-negara Nordic, namun juga harus menyesuaikan kebijakan dengan kondisi dan karakteristik Indonesia yang unik. Jangan sampai semangat membangun negara kesejahteraan justru menjadi bumerang bagi masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun