Disinilah titik simpangnya, ketika kita akan membandingkan persoalan perpajakan, antara negara-negara yang juga berjuluk Skandinavia dengan Indonesia.
Jangan sampai terkesan cherry picking hanya untuk memperkuat argumennya. Jika urusan tingginya pajak berkaca pada "Nordic Style", tapi dalam hal pengelolaannya lupa bercermin wajah lusuh Pemerintahan Indonesia, yang cenderung tidak efesien, efektif dan koruptif.
Menaikan tarif pajak itu salah satu Keyword-nya, adalah TRUST!
Trust atau kepercayaan itu tidak given atau terjadi begitu aja tapi harus dibangun lewat tindakan-tindakan nyata.
Pejabat-pejabat disana jauh lebih egaliter, berlaku dan berpenampilan lebih sederhana dibandingkan disini.
Para pengurus negaranya berjumlah ramping, gaya hidupnya jauh dari hedon. Coba kita lihat disini, yang kasat mata saja deh dan jelas-jelas sangat mengganggu, iring-iringan mobil pejabat saat membelah jalan, apa perlunya sih harus dua tiga mobil mengiringi satu orang pejabat?
Terus diokasikan kemana uang pajak itu? Betul, dalam APBNKita yang dirilis Kementerian Keuangan kita bisa secara detil melihat alokasi anggaran terutama yang berasal dari pajak.Â
Namun praktik penggunaannya di lapangan di tingkat Kementerian dan Lembaga serta Pemerintah Daerah, kurang transparan, saya paham dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana sebagian para birokrat terutama para pejabatnya mengakali alokasi anggaran itu
Belum lagi jika berbicara waktu penerapannya, longsoran fakta yang menunjukan kondisi daya beli masyarakat sedang dalam tren pelemahan akibat berbagai faktor.
Tunda Kenaikan PPN
Sejumlah pengamat ekonomi mengatakan kenaikan tarif PPN bakal menggerus konsumsi masyarakat sehingga potensial memperlambat pertumbuhan ekonomi, yang memang sedang slowing down.
Memang benar, tak semua barang atau jasa terkena kenaikan tarif PPN, kurang lebih ada sekitar 13 item yang tak terkena, termasuk bahan kebutuhan pokok dan layanan jasa pendidikan dan kesehatan.