Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

"Grooming" Dulu Daya Beli Masyarakat, Baru PPN Naik Kemudian

19 November 2024   14:18 Diperbarui: 19 November 2024   18:23 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hasil survei Indeks Keyakinan Konsumen BI ini mempertegas loyonya wajah perekonomian negeri ini, yang pada kuartal III 2024 hanya mampu menggeliat 4,95 persen saja. 

Kondisi yang "tidak baik-baik saja" tersebut secara tidak langsung diakui pula oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang mengeluhkan pengumpulan pajak tahun ini cukup berat. 

"Ini telah kami sampaikan ke DPR, tahun ini tahun yang sangat berat dengan pertumbuhan pajak kita negatif," kata Sri Mulyani pada rapat bersama komisi XI DPR RI, seperti dilansir Kumparan.Com, Rabu (13/11/2024).

Hingga Oktober 2024 realisasi penerimaan pajak tercatat sebesar Rp1.517,5 triliun turun 0,4 persen dibanding periode yang sama tahun lalu yang berhasil meraup penerimaan pajak sebesar Rp1.523,9 triliun

Memang, SMI tak mengakui secara langsung bahwa menurunnya penerimaan pajak itu akibat memburuknya kondisi ekonomi domestik, ia menunjuk biang keroknya adalah penurunan harga komoditas seperti batu bara dan kelapa sawit. 

Namun, diakui atau tidak beratnya penerimaan pajak juga bisa dipicu oleh memburuknya perekonomian domestik. Daya beli melemah, transaksi menurun, otomatis tingkat produksi pun akan menyesuaikan atau drop juga, hasilnya ya pajak yang dikumpulkan dari rangkaian proses ekonomi tersebut menjadi turun juga.

Namun, ironisnya, ditengah memburuknya ekonomi domestik yang salah satunya dipicu oleh melemahnya konsumsi masyarakat, Pemerintah keukeuh akan menaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. 

Kenaikan PPN Menjadi 12 Persen Sebaiknya Ditunda

Mengutip kajian yang dilakukan oleh lembaga riset ekonomi, Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), kenaikan PPN menjadi 12 persen potensial menggerus konsumsi rumah tangga hingga 0,26 persen. 

Harga barang akan menjadi semakin mahal karena tarif PPN naik, padahal pendapatan secara riil diprediksi akan mengalami penurunan sekitar 0,96 persen. Untuk menyiasatinya, kalau pun harus belanja, masyarakat akan beralih ke barang berharga lebih murah dengan kualitas yang pastinya lebih rendah.

Di sisi lain, seperti dilansir Kompas.id, mengutip hasil riset Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) yang dirilis awal November 2024, kenaikan tarif PPN tidak akan optimal mengerek pemasukan negara dari pajak. 

Hal tersebut dibuktikan saat Pemerintah menaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada tahun 2022, porsi PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) terhadap pendapatan domestik justru menurun dari 27,6 persen (2020), 27,5 persen (2021), menjadi 26,1 persen (2022).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun