Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Nafsu Mengalahkan Nurani, Apa yang Ada Dalam Pikiran Pelaku Kekerasan Seksual?

21 September 2024   14:05 Diperbarui: 22 September 2024   15:20 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu belakangan, ruang informasi publik dipenuhi oleh sejumlah kasus kekerasan seksual ekstrem terhadap perempuan berusia muda yang diakhiri dengan pembunuhan.

Paling tidak ada dua kasus kekerasan seksual dan berakhir dengan pembunuhan yang mencuat dan menyita perhatian masyarakat luas. 

Seperti dilansir Kompas.com, di Palembang Sumatera Selatan, peristiwa pembunuhan yang diimbuhi pemerkosaan terjadi pada 31 Agustus 2024.

Seorang siswi SMP berusia 13 tahun berinisial AA, menjadi sasaran kejahatan keji yang didalangi oleh mantan pacarnya, IS, yang masih berusia 17 tahun.

IS, yang merasa sakit hati karena cintanya ditolak, merencanakan aksi keji ini dengan mengajak korban bertemu di sebuah tempat sepi. Di sana, IS mencekik korban hingga lemas, lalu tiga temannya yang lain, MZ (16 tahun), NZ (14 tahun), dan AS (16 tahun), ikut memperkosa korban secara bergilir. 

Setelah melampiaskan nafsu bejat mereka, para pelaku membuang jasad korban ke semak-semak, seolah-olah mencoba menghilangkan jejak kejahatan mereka.

Tak berselang lama, kasus hampir serupa juga terjadi di Pariaman Sumatera Barat. Seorang gadis muda bernama Nia Kurnia Sari yang masih berusia 18 tahun dan mengisi hari-harinya dengan berjualan kudapan gorengan harus kehilangan hidupnya, akibat nafsu bejat seorang residivis kasus kekerasan seksual, Indra Septiarman.

Menurut informasi yang saya cuplik dari Kompas.com,pada 12 September 2024, Nia berpamitan kepada keluarganya untuk pergi berjualan di Pasar Sungai Limau, Padang Pariaman. 

Namun, senja itu menjadi awal dari tragedi yang memilukan. Nia tak kunjung pulang hingga larut malam, membuat keluarganya cemas dan mulai mencari keberadaannya.

Keesokan harinya, kecemasan keluarga Nia berubah menjadi duka yang mendalam. Sesosok mayat perempuan ditemukan di semak-semak, dan setelah diidentifikasi, dipastikan bahwa itu adalah Nia. 

Hasil autopsi mengungkapkan fakta yang lebih mengerikan, Nia tidak hanya dibunuh dengan kekerasan benda tumpul di kepala, tetapi juga menjadi korban kekerasan seksual.

Polisi segera melakukan penyelidikan dan beberapa hari kemudian berhasil menangkap Indra Septiarman, sebagai tersangka. 

Indra mengaku bahwa ia membunuh Nia karena ingin menguasai harta bendanya, dan ia juga memperkosa Nia sebelum membunuhnya.

Kompas.id
Kompas.id

Kedua kasus pembunuhan disertai kekerasan seksual ekstrem ini cukup mengguncang, saya jadi berpikir, 

"Ada apa sih dengan orang-orang ini kok bisa tega dengan sadis melakukan kejahatan seksual yang diakhiri dengan pembunuhan."

Untuk pembunuhanya sih, saya agak paham. Hal itu dilakukan untuk menghilangkan jejak kejahatan yang dilakukannya. Dengan membunuh korban, pelaku berpikir, tak akan ada saksi yang bisa menyampaikan kejahatannya pada pihak lain, dalam hal ini keluarga dan Kepolisian.

Tetapi kenapa sih harus memperkosa, mungkin ini pertanyaan naif, namun perlu dibedah, karena sebagai manusia normal kalau hasrat seksual memang sudah diubun-ubun dan tak memiliki pasangan tetap untuk melampiaskannya, kan bisa saja melakukannya dengan "membeli" walaupun tak bisa dibenarkan, tapi paling tidak hubungannya konsensual, toh banyak kok yang menjajakannya.

Atau dalam norma yang berlandaskan agama yang saya yakini sebagai Muslim, bisa dengan berwudhu, berpuasa, atau mengalihkan energinya menjadi hal-hal lain. Atau kalau memang sudah memuncak bisa kan dengan melakukannya secara "self service"

Untuk bisa sedikit memahami hal tersebut, saya melakukan beberapa riset kecil-kecilan melalui mesin pencari Google, dan menemukan beberapa teori dan kesimpulan yang bisa saya pahami untuk kemudian saya tuangkan dalam tulisan sederhana ini.

Ternyata, untuk memahami mengapa seseorang melakukan kekerasan seksual itu sangat kompleks. Bukan hanya itu kekerasan seksual juga merupakan tindakan destruktif, dengan akar penyebab yang beragam dan seringkali saling terkait. 

Mencoba Memahami Cara Berpikir Pelaku Pemerkosa

Menurut, National Sexual Violence Resources Center, NSVRC .Org, organisasi non-profit yang bergerak di bidang kekerasan seksual berbasis di Amerika Serikat ini, hasrat jahat ini tumbuh dari kombinasi kompleks berbagai faktor.

Untuk memahami mengapa seseorang melakukan kekerasan seksual memerlukan tinjauan dari berbagai perspektif, termasuk psikologis, sosial, dan budaya.

Keinginan untuk melakukan tindakan kekerasan seksual bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja. Ia tumbuh dari benih-benih yang tertanam oleh berbagai faktor, baik dari dalam diri individu maupun dari lingkungan sekitarnya.

Pada beberapa kasus, trauma masa lalu, terutama pengalaman kekerasan seksual di masa kecil, dapat meninggalkan luka mendalam yang membentuk distorsi kognitif dan emosional. 

Luka ini, jika tidak diobati, dapat berkembang menjadi keyakinan dan sikap yang menyimpang, di mana kekerasan dianggap sebagai cara yang dapat diterima untuk mendapatkan kepuasan seksual atau mengontrol orang lain.

Selain itu, lingkungan sosial dan budaya juga memainkan peran penting. Norma-norma yang merendahkan perempuan, objektifikasi tubuh perempuan, serta pembenaran terhadap kekerasan, dapat menciptakan lahan subur bagi tumbuhnya perilaku kekerasan seksual. 

Paparan terhadap pornografi dan kekerasan, terutama di usia muda, juga dapat membentuk persepsi yang salah tentang seks dan sebuah hubungan antar gender, sehingga menormalisasi perilaku yang eksploitatif dan merusak.

Faktor situasional juga dapat menjadi pemicu. Dalam keadaan di mana hambatan moral dan sosial melemah, seperti saat berada di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan, atau ketika ada kesempatan untuk melakukan kekerasan tanpa terdeteksi, keinginan untuk melakukan kekerasan seksual dapat muncul ke permukaan.

Kaitannya Dengan Dua Kasus Kekerasan Seksual dan Pembunuhan, AA dan Nia Kurnia Sari

Dalam kasus kekerasan seksual dan pembunuhan AA di Palembang menunjukkan bagaimana trauma masa lalu dan keyakinan yang menyimpang dapat berperan. 

Pelaku utama, yang merasa sakit hati karena cintanya ditolak, merencanakan aksi keji ini, menunjukkan bagaimana luka emosional yang tidak terselesaikan dapat memicu perilaku destruktif.

Ketiga pelaku lainnya, yang mengaku takut diancam, juga menunjukkan bagaimana dinamika sosial dan tekanan kelompok dapat mempengaruhi seseorang untuk terlibat dalam tindakan kekerasan, meskipun bertentangan dengan nilai-nilai mereka.

Sementara itu, dalam kasus Nia di Pariaman, tersangka mengaku terdorong oleh keinginan untuk menguasai harta benda korban. 

Ini menunjukkan bagaimana faktor situasional, seperti kesempatan dan kurangnya pengawasan, dapat memicu tindakan kekerasan seksual, terutama ketika dipadukan dengan motif ekonomi.

Kedua kasus ini juga menyoroti bagaimana norma-norma sosial dan budaya yang masih menempatkan perempuan pada posisi rentan dapat berkontribusi pada terjadinya kekerasan seksual. 

Nia, yang bekerja sebagai penjual gorengan, mungkin dianggap sebagai sasaran empuk oleh pelaku karena dianggap kurang berdaya.

Begitu pula dengan AA siswi SMP di Palembang, yang mungkin dianggap tidak memiliki kekuatan untuk melawan atau melaporkan kekerasan yang dialaminya.

Paparan terhadap pornografi atau konten kekerasan lainnya juga dapat membentuk persepsi yang salah tentang seks dan hubungan, sehingga menormalisasi perilaku yang eksploitatif dan merusak. 

Meskipun tidak ada informasi spesifik tentang paparan ini dalam kedua kasus tersebut, penting untuk mengakui bahwa hal ini merupakan faktor risiko yang signifikan dalam banyak kasus kekerasan seksual.

Kedua kasus ini mengingatkan kita bahwa kekerasan seksual adalah masalah kompleks yang membutuhkan pendekatan dari berbagai sisi untuk pencegahan dan penanganannya. 

Kita perlu menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi perempuan dan anak-anak, mengatasi norma-norma sosial yang merugikan, memberikan pendidikan seks yang komprehensif, dan memastikan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual. 

Hanya dengan upaya kolektif kita dapat memutus rantai kekerasan seksual dan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan beradab bagi semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun