Sementara itu, dalam kasus Nia di Pariaman, tersangka mengaku terdorong oleh keinginan untuk menguasai harta benda korban.Â
Ini menunjukkan bagaimana faktor situasional, seperti kesempatan dan kurangnya pengawasan, dapat memicu tindakan kekerasan seksual, terutama ketika dipadukan dengan motif ekonomi.
Kedua kasus ini juga menyoroti bagaimana norma-norma sosial dan budaya yang masih menempatkan perempuan pada posisi rentan dapat berkontribusi pada terjadinya kekerasan seksual.Â
Nia, yang bekerja sebagai penjual gorengan, mungkin dianggap sebagai sasaran empuk oleh pelaku karena dianggap kurang berdaya.
Begitu pula dengan AA siswi SMP di Palembang, yang mungkin dianggap tidak memiliki kekuatan untuk melawan atau melaporkan kekerasan yang dialaminya.
Paparan terhadap pornografi atau konten kekerasan lainnya juga dapat membentuk persepsi yang salah tentang seks dan hubungan, sehingga menormalisasi perilaku yang eksploitatif dan merusak.Â
Meskipun tidak ada informasi spesifik tentang paparan ini dalam kedua kasus tersebut, penting untuk mengakui bahwa hal ini merupakan faktor risiko yang signifikan dalam banyak kasus kekerasan seksual.
Kedua kasus ini mengingatkan kita bahwa kekerasan seksual adalah masalah kompleks yang membutuhkan pendekatan dari berbagai sisi untuk pencegahan dan penanganannya.Â
Kita perlu menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi perempuan dan anak-anak, mengatasi norma-norma sosial yang merugikan, memberikan pendidikan seks yang komprehensif, dan memastikan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual.Â
Hanya dengan upaya kolektif kita dapat memutus rantai kekerasan seksual dan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan beradab bagi semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H