Menurut, National Sexual Violence Resources Center, NSVRC .Org, organisasi non-profit yang bergerak di bidang kekerasan seksual berbasis di Amerika Serikat ini, hasrat jahat ini tumbuh dari kombinasi kompleks berbagai faktor.
Untuk memahami mengapa seseorang melakukan kekerasan seksual memerlukan tinjauan dari berbagai perspektif, termasuk psikologis, sosial, dan budaya.
Keinginan untuk melakukan tindakan kekerasan seksual bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja. Ia tumbuh dari benih-benih yang tertanam oleh berbagai faktor, baik dari dalam diri individu maupun dari lingkungan sekitarnya.
Pada beberapa kasus, trauma masa lalu, terutama pengalaman kekerasan seksual di masa kecil, dapat meninggalkan luka mendalam yang membentuk distorsi kognitif dan emosional.Â
Luka ini, jika tidak diobati, dapat berkembang menjadi keyakinan dan sikap yang menyimpang, di mana kekerasan dianggap sebagai cara yang dapat diterima untuk mendapatkan kepuasan seksual atau mengontrol orang lain.
Selain itu, lingkungan sosial dan budaya juga memainkan peran penting. Norma-norma yang merendahkan perempuan, objektifikasi tubuh perempuan, serta pembenaran terhadap kekerasan, dapat menciptakan lahan subur bagi tumbuhnya perilaku kekerasan seksual.Â
Paparan terhadap pornografi dan kekerasan, terutama di usia muda, juga dapat membentuk persepsi yang salah tentang seks dan sebuah hubungan antar gender, sehingga menormalisasi perilaku yang eksploitatif dan merusak.
Faktor situasional juga dapat menjadi pemicu. Dalam keadaan di mana hambatan moral dan sosial melemah, seperti saat berada di bawah pengaruh alkohol atau obat-obatan, atau ketika ada kesempatan untuk melakukan kekerasan tanpa terdeteksi, keinginan untuk melakukan kekerasan seksual dapat muncul ke permukaan.
Kaitannya Dengan Dua Kasus Kekerasan Seksual dan Pembunuhan, AA dan Nia Kurnia Sari
Dalam kasus kekerasan seksual dan pembunuhan AA di Palembang menunjukkan bagaimana trauma masa lalu dan keyakinan yang menyimpang dapat berperan.Â
Pelaku utama, yang merasa sakit hati karena cintanya ditolak, merencanakan aksi keji ini, menunjukkan bagaimana luka emosional yang tidak terselesaikan dapat memicu perilaku destruktif.
Ketiga pelaku lainnya, yang mengaku takut diancam, juga menunjukkan bagaimana dinamika sosial dan tekanan kelompok dapat mempengaruhi seseorang untuk terlibat dalam tindakan kekerasan, meskipun bertentangan dengan nilai-nilai mereka.