Menggunakan KRL Jabodetabek untuk aktivitas sehari-hari menawarkan pengalaman yang beragam, dari yang menyenangkan hingga menjengkelkan, mulai jadwal yang kerap molor karena berbagai sebab, densitas di dalam gerbong yang sangat padat akibat jumlah rangkaian kian menyusut, kondisi saat transit, hingga urusan tempat duduk dan prioritas pengguna di gerbong kereta.
Berdasarkan pengalaman lebih dari 20 tahun, untuk urusan tempat duduk di KRL lumayan tricky, karena jumlah kursi jauh lebih sedikit dibandingkan penumpang yang ada di sebuah gerbong, sehingga acap kali agar dapat tempat duduk, pengguna harus "berjuang"
Berbeda dengan Kereta Api Jarak Jauh (KJJ) saat ini, setiap penumpang dipastikan akan mendapat satu tempat duduk. KRL, karena termasuk kendaraan shuttle dengan waktu tempuh pendek dan turnover penumpangnya dalam satu jadwal perjalanan sangat tinggi, maka kepastian mendapatkan tempat duduk itu tak pernah ada.Â
Ini tak hanya berlaku untuk moda transportasi KRL, semua moda transportasi umum jarak pendek, sistemnya seperti itu di mana pun di seluruh dunia.Â
Jadi ya first in, first serve, siapa yang datang atau naik duluan, dia lah yang akan mendapatkan tempat duduk.
Lantas bagaimana dengan mereka yang menurut kategori PT. Kereta Commuter Indonesia (KCI), lebih membutuhkan tempat duduk seperti ibu hamil, kelompok disabilitas, lansia, atau orang yang membawa anak balita?
PT. KCI selaku pengelola KRL di Indonesia sudah menyediakan tempat duduk prioritas, di empat sudut setiap gerbong, yang kurang lebih bisa menampung 12 pengguna.
Persoalannya kemudian, kerap kali kursi prioritas pada jam-jam sibuk antara Pukul 06.00-09.00 di pagi hari dan Pukul 16.00-19.00 di sore hari, bahkan diluar jam sibuk pun, lantaran antusiasme menggunakan KRL semakin tinggi tempat duduk khusus prioritas tadi sudah penuh terisi, sebagian oleh mereka yang tak berhak.Â
Sehingga mereka yang masuk kategori harus keleleran dan berharap mendapat tempat duduk di " area umum." Bersyukur bila ada penumpang umum "berhati mulia" bersedia memberikan tempat duduknya kepada mereka, tapi banyak juga yang bersikap acuh tak acuh, misalnya dengan berpura-pura tidur atau cara lain, yang intinya ia tak memberikan tempat duduk kepada yang lebih membutuhkan.
Namun, sikap ini juga tak bisa sepenuhnya disalahkan, mungkin pada saat itu ia lelah, ada sesuatu yang dirasakan di dalam badannya sehingga harus duduk walau terlihat bugar dan muda, atau alasan-alasan lain yang tak pernah kita tahu. Yang jelas dirinya tak berkenan untuk memberikan tempat duduknya kepada orang lain.