Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Buka Rekening Bank Kini Lebih Ketat, Apa Dampaknya Bagi Nasabah dan Perlindungan Data Pribadi

13 Agustus 2024   14:45 Diperbarui: 13 Agustus 2024   14:51 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.chime.com/blog/top-reasons-to-get-a-personal-loan/

Bagi masyarakat yang akan membuka rekening baru di bank atau lembaga keuangan lainnya , kini tak akan cukup lagi hanya dengan menyertakan dokumen kependudukan seperti disyaratkan semua institusi perbankan di Negeri ini.

Untuk Warga Negara Indonesia (WNI) harus menyertakan kartu identitas seperti KTP, sementara untuk Warga Negara Asing (WNA) penyertaan Paspor/KITAS/KIMS/KITAP menjadi wajib. Dan untuk beberapa jenis tabungan di sejumlah bank, dibutuhkan juga Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Selain setoran awal dengan jumlah bervariasi sesuai bank dan jenis tabungannya serta beberapa syarat internal lainya yang berbeda di setiap bank. 

Lewat aturan anyar, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menambah persyaratan untuk pembukaan rekening baru bank, bagi individu pribadi atau entitas yang tidak bersedia memberikan informasi untuk identifikasi rekening keuangan.

Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 47 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas PMK Nomor 70 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.

Mengutip situs Kementerian Keuangan (Kemenkeu), ketentuan ini tercantum dalam Pasal 10A PMK 47/2024 yang merujuk pada Pasal 9 PMK 90/2017, yang mewajibkan lembaga keuangan melaksanakan prosedur identifikasi rekening keuangan yang dimiliki orang pribadi dan/atau entitas baik domestik maupun asing.

"Lembaga keuangan pelapor tidak diperbolehkan melayani pembukaan Rekening Keuangan Baru bagi orang pribadi dan/atau entitas atau transaksi baru terkait rekening keuangan bagi pemilik rekening lama yang menolak untuk mematuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9"

Transaksi yang tidak boleh dilayani, apabila nasabah tak complied dengan aturan tersebut adalah setoran, penarikan, transfer, pembukaan rekening, dan pembukaan kontrak bagi nasabah perbankan.

Intinya, lewat aturan itu siapapun pemilik rekening keuangannya harus secara sukarela memberikan akses kepada Pemerintah Cq Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu agar bisa mengintip segala transaksi yang terjadi di rekeningnya, demi kepentingan perpajakan.

Mengutip Kontan.co.id, merujuk pada hasil wawancaranya dengan Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Dwi Astuti, aturan baru ini  alasan utamanya untuk memberi kepastian hukum bagi perbankan dan lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain dalam menyampaikan laporan yang berisi informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan, serta untuk mengatur ketentuan mengenai anti penghindaran pajak sesuai dengan standar pelaporan umum (common reporting standard). 

Sampai disini, oke lah tujuannya baik, agar pendapatan negara bisa digali secara optimal yang ujungnya bisa digunakan untuk belanja negara demi kesejahteraan rakyat Indonesia.

Persoalannya kemudian, bagaimana mekanisme penerapan aturan baru ini di lapangan. 

Mekanisme Implementasi dan Pertanyaan Krusial

Belum jelas bagaimana mekanisme persetujuan akses data nasabah akan diterapkan. Apakah akan ada klausul tambahan dalam kontrak pembukaan rekening yang secara eksplisit meminta persetujuan nasabah? Atau apakah akses DJP akan otomatis diberikan tanpa persetujuan eksplisit?

Pertanyaan lain yang muncul adalah dalam kondisi apa DJP dapat mengakses data keuangan nasabah, seberapa dalam akses yang diberikan, dan bagaimana keamanan data tersebut dijamin.

Apakah pada saat membuka rekening baru, klausul kontrak pembukaan rekening baru yang dokumennya biasanya terdiri dari 4-6 lembar dan harus kita paraf itu, hanya ditambah dengan satu paragraf yang isinya kurang lebih bertanya seperti ini:

"apakah setiap transaksi yang terjadi di rekeningnya boleh diakses secara otomatis oleh pihak lain dalam hal ini DJP selain pemiliknya dan pihak bank?" Atau dilakukan secara terpisah dengan klausul kontrak pembukaan rekening baru?

Ini penting, lantaran kalau dimasukan ke dalam klausul kontrak pembukaan rekening baru seperti yang selama ini dilakukan saat kita membuka rekening baru, kemungkinan besar nasabah tak akan aware bahwa ada klausul tambahan yang memberi akses kepada DJP untuk mengintip rekening yang bersangkutan. 

Atau memang tak perlu klausul persetujuan akses dari pemilik rekening bersangkutan, jadi setiap rekening bank atau lembaga keuangan lainnya otomatis bisa diakses oleh DJP Kemenkeu. Jadi masyarakat yang akan membuka rekening baru di fait accomplied oleh Kemenkeu.

"Loe mau punya rekening bank, ya loe harus rela rekening bank loe, gue akses, kalo enggak ya ga bisa buka rekening" 

Apabila diakes tanpa persetujuan pemilik rekening itu terjadi, bukan kah ini bertentangan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP). Data Keuangan pribadi seperti yang tercantum dalam Pasal 4 angka (2) huruf f UU PDP termasuk data pribadi yang harus dilindungi.

Pertanyaan berikutnya, dari aturan baru terkait pembukaan rekening baru di perbankan dan lembaga keuangan lainnya ini adalah dalam keadaan apa pihak DJP berhak mengakses rekening keuangan seseorang, sepanjang waktu kah atau pada saat ada indikasi yang menunjukan pemilik rekening berusaha melakukan tipu-tipu pajak. Dan seberapa dalam akses yang bisa dilakukan pihak DJP?

Semua pertanyaan ini, seharusnya bisa dijelaskan Pemerintah sebelum aturannya diterapkan. Mungkin benar tak akan terlalu banyak juga masyarakat Indonesia yang peduli data keuangan pribadi mereka bisa diakses secara leluasa oleh Pemerintah atau bahkan siapapun.

Jangankan masyarakat umum, Aparatur Sipil Negara (ASN) alias pegawai negeri saja tak terlalu peduli juga ketika data pribadi mereka diduga bocor di dunia maya dan dijual seharga 10 ribu US Dollar atau sekitar Rp159 juta, setelah pusat data Badan Kepegawaian Nasional (BKN) dibobol peretas seperti yang kabarnya beredar dua hari belakangan.

Pemerintah perlu memberikan penjelasan yang jelas dan transparan mengenai mekanisme implementasi kebijakan ini, termasuk bagaimana persetujuan nasabah akan diperoleh, dalam kondisi apa DJP dapat mengakses data, dan bagaimana keamanan data dijamin. Sosialisasi yang memadai juga diperlukan agar masyarakat memahami tujuan dan implikasi dari kebijakan ini.

Kebijakan ini mencerminkan upaya pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan transparansi keuangan, yang penting untuk pembangunan nasional. Namun, penting juga untuk memastikan bahwa kebijakan ini tidak melanggar hak privasi individu dan diimplementasikan dengan memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan data pribadi.

Pemerintah perlu mencari titik keseimbangan antara kepentingan negara dalam meningkatkan penerimaan pajak dan hak individu atas privasi data mereka. Hanya dengan transparansi, sosialisasi yang memadai, dan implementasi yang hati-hati, kebijakan ini dapat mencapai tujuannya tanpa mengorbankan kepercayaan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun