Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Olimpiade Paris 2024, Antara Kontroversi Pelarangan Jilbab dan Pertaruhan Sekularisme Perancis

21 Juli 2024   06:46 Diperbarui: 21 Juli 2024   06:48 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bawah langit romantis Paris, di mana Menara Eiffel menjulang megah dan Sungai Seine mengalir tenang, Olimpiade Paris 2024 akan segera digelar.

Perkampungan atlet yang terletak di tepi Sungai Seine, mulai ramai dipenuhi oleh atlet dari berbagai negara dan siap menampung  14.500 orang termasuk 9.000 atlet, pada puncak okupansinya.

Tentu saja para atlet dari berbagai negara dengan budaya yang berbeda akan saling bertemu dan bercengkerama, duduk berhadapan di ruang makan dan ruang rekreasi, seraya berbagi cerita.

Ajang olahraga paling akbar sejagat ini menjadi semacam melting pot beragam budaya, tempat bagi individu-individu dari beragam keyakinan dan aneka warna kulit, bertemu setiap empat tahun.

Namun, dibalik meleburnya budaya global dan gemerlapnya pesta olahraga, tersembunyi sebuah isu yang mengusik hati nurani: larangan mengenakan jilbab bagi atlet perempuan Muslim tuan rumah Perancis menjadi sebuah ironi di tengah hajatan olahraga yang dikenal akan pluralitas dan keragaman ras serta budayanya.

Pemerintah Perancis melalui Menteri Olahraga-nya Amelie Oudea Castera seperti yang dikutip dari Kantor Berita Reuters merilis pernyataan pelarangan penggunaan jilbab bagi atlet muslim perempuan tuan rumah, selama Olimpiade Paris 2024 dihelat, mulai 26 Juli 2024, mendatang.

Menurutnya, pelarangan mengenakan jilbab bagi atlet mereka bertujuan untuk menghormati prinsip sekularisme yang Pemerintah Perancis anut.

Amelie mengatakan, pihak Pemerintah menentang simbol-simbol keagamaan dikenakan oleh atlet mereka selama Olimpiade Paris berlangsung, dengan alasan memastikan netralitas mutlak dalam layanan publik.

Sekularisme Prancis, atau laicite, merupakan konsep yang memisahkan agama dari urusan publik, termasuk dalam ranah pemerintahan, pendidikan, dan bahkan olahraga.

Mengutip situs Le Taurrilion, Laicite berakar dari sejarah panjang Prancis yang diwarnai konflik agama. Prinsip ini bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang netral secara agama, di mana setiap individu memiliki kebebasan beragama atau tidak beragama, namun agama tidak boleh mempengaruhi kebijakan publik atau kehidupan bersama.

Dalam praktiknya, laicite diimplementasikan melalui berbagai undang-undang dan regulasi yang membatasi ekspresi keagamaan di ruang publik. Salah satu contohnya adalah Undang-Undang 2004 yang melarang penggunaan simbol-simbol keagamaan yang mencolok di sekolah-sekolah negeri.

Larangan penggunaan jilbab bagi atlet perempuan Muslim Prancis di Olimpiade Paris 2024 merupakan perpanjangan dari prinsip laicite ini. Pemerintah Prancis berpendapat bahwa jilbab merupakan simbol agama yang tidak sesuai dengan prinsip netralitas dalam olahraga.

Namun, larangan ini menuai kritik, termasuk dari atlet Perancis sendiri karena dianggap diskriminatif terhadap perempuan Muslim dan melanggar hak asasi manusia dalam kebebasan beragama dan berekspresi. Seperti disampaikan oleh Pebasket Putri tuan rumah, Helena Ba.

“Ini jelas merupakan pelanggaran terhadap piagam, nilai-nilai, dan ketentuan Olimpiade, serta hak-hak dasar dan kebebasan kami. Saya pikir ini akan menjadi momen yang memalukan bagi Prancis,” ungkap Ba.seperti dilansir Ruangbibir.com.

Kritik juga datang dari berbagai organisasi internasional dan tokoh olahraga dunia yang menganggap larangan ini bertentangan dengan nilai-nilai inklusivitas dan keberagaman dalam olahraga.

“Tidak ada satu orang pun yang boleh memaksa seorang perempuan soal apa yang boleh dan tidak boleh dia kenakan,” kata juru bicara Kantor HAM PBB. Seperti dilansir BBC.Com.

Pendapat serupa pun disampaikan oleh Lembaga Amnesti Internasional “Larangan mengenakan jilbab di ruang publik melanggar hak-hak perempuan Muslim,”

Tidak Berlaku Untuk Atlet Negara Lain.

Diluar atletnya sendiri, Pemerintah Perancis tak melarang atlet negara-negara lain untuk mengenakan jilbab selama perhelatan Olimpiade Paris 2024, karena mengikuti aturan Komite Olimpiade Internasional (IOC) yang lebih fleksibel terkait penggunaan jilbab dalam olahraga dibandingkan dengan Prancis. IOC mengizinkan atlet untuk mengenakan jilbab selama tidak menimbulkan risiko keamanan atau mengganggu performa atlet.

Prinsip utama IOC adalah inklusivitas dan menghormati keberagaman budaya dan agama. Oleh karena itu, IOC tidak melarang penggunaan jilbab atau simbol-simbol keagamaan lainnya selama tidak melanggar aturan keselamatan dan tidak memberikan keuntungan yang tidak adil bagi atlet yang mengenakannya.

Menariknya, larangan mengenakan jilbab bagi atlet putri Muslim tuan rumah tak berlaku jika mereka sedang berada di perkampungan atlet.

Belum jelas benar apa alasan Pemerintah Perancis melakukan itu, beberapa pihak berpendapat perkampungan atlet dianggap sebagai lingkungan pribadi di mana atlet dapat mengekspresikan identitas dan keyakinan mereka secara bebas, termasuk dalam hal berpakaian. 

Larangan jilbab hanya berlaku saat bertanding, di mana atlet mewakili negara dan harus mematuhi aturan seragam tim nasional.

Atau bisa juga akibat tekanan internasional, sangat mungkin Prancis mendapat tekanan dari IOC dan organisasi hak asasi manusia untuk mengizinkan penggunaan jilbab bagi atletnya di perkampungan atlet.

Selain itu spekulasi lain, menyebutkan , dengan mengizinkan penggunaan jilbab di perkampungan atlet, Prancis mungkin berusaha untuk meredakan kontroversi dan menghindari tuduhan diskriminasi.

Kontroversi larangan mengenakan jilbab  bagi atlet perempuan Prancis di Olimpiade Paris 2024 menjadi contoh nyata bagaimana isu gender, agama, dan olahraga dapat berbenturan. Larangan ini menimbulkan pertanyaan tentang batasan sekularisme, hak asasi manusia, dan inklusivitas dalam olahraga.

Meskipun larangan ini menimbulkan kontroversi, isu ini juga membuka peluang untuk dialog dan diskusi yang lebih luas tentang bagaimana menciptakan lingkungan olahraga yang lebih inklusif dan menghormati keberagaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun