Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk tahun 2024 diproyeksikan bakal mengalami pembengkakan yang cukup siginifikan.
Menurut informasi dari Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (DJA-Kemenkeu), defisit APBN 2024 diproyeksikan meningkat dari target awal sebesar Rp522,8 triliun atau setara dengan 2,29 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), menjadi Rp609,7 triliun atau 2,7 persen dari PDB.
Akibatnya, semakin dalam gap defisit tersebut, menurut Dirjen Anggaran Kemenkeu, Isa Rachmatarwata hal tersebut, dipicu oleh melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar yang saat ini bertengger di atas Rp16.000 per US Dollar, naiknya harga minyak mentah Indonesia (ICP) dari 78,4 US Dollar per barel di tahun 2023 menjadi 81,3 US Dollar per barel pada semester awal 2024, dan merosotnya realisasi produksi minyak mentah Indonesia.
Menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) produksi minyak dalam negeri pun mengalami kemorosotan, dari target 635.000 barel per hari, hingga triwulan I tahun 2024 ini realisasi liftingnya hanya sebesar 567.000 barel per hari.
Kondisi ini mau tidak mau, mendorong Pemerintah untuk menaikan proyeksi anggaran belanja negara, dari target awal sebesar Rp332t,2 triliun, menjadi Rp3.412,2 triliun atau 102,6 persen dari target penetapan  APBN 2024 awal.
Di sisi lain, pendapatan atau penerimaan Negara tetap, sesuai target pendapatan yang tertuang dalam APBN 2024, sebesar Rp2805,4 triliun, Â tak ada proyeksi pendapatan tambahan
Fakta dan data seperti yang disampaikan Kemenkeu ini, menunjukan bahwa pemicu utama defisit APBN 2024 lantaran adanya kebutuhan tambahan untuk belanja subsidi energi.
Informasinya, realisasi volume penyaluran BBM bersubsidi pada Semester I 2024 telah mencapai 7,16 juta kilo liter. Sementara, LPG 3kg yang disubsidii Negara terealisasi sebsesar 3.365,8 juta kg.
Subsidi listrik pun alokasi anggarannya mengalami kenaikan, dari sebelumnya untuk 39,02 juta pelanggan menjadi 40,6 juta pelanggan.
Hingga saat ini anggaran yang telah digelontorkan Negara untuk seluruh subsidi tersebut mencapai Rp155,7 triliun, padahal alolkasi total anggaran subsidi  energi dalam APBN 2024, cuma sebesar Rp.189,1 triliun.
Artinya alokasi anggaran subsidi energi untuk tahun 2024 hanya tersisa Rp33,4 triliun saja, padahal tahun 2024 waktunya masih panjang sekitar 5 bulan lagi.
Oleh sebab itu, tanpa  terus berlanjutnya kenaikan harga minyak mentah dan melemahnya kurs Rupiah terhadap US Dollar sekalipun, pagu anggaran subsidi energi dalam APBN 2024 hampir pasti harus dinaikan.
Apalagi potensi kenaikan harga minyak mentah dan pelemahan Rupiah terus berlanjut masih sangat terbuka, dan akan semakin menggerogoti APBN, alhasil tekornya bakal semakin dalam.
Untuk memitigasinya, agar APBN kita tetap bisa survive, dan terus bisa menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi nasional, antara lain dengan mengurangi subsidi energi yang konsekuensinya akan membuat harga jual BBM, LPG, dan listrik ke masyarakat naik, mendekati harga keekonomiannya.
Atau bisa juga lewat cara membatasi konsumsi energi masyarakat dengan jargon "subsidi tepat sasaran" yang mekanismenya cukup ruwet dan secara praksis agak sulit diterapkan.
Toh selama ini, sejatinya jargon subsidi tepat sasaran itu sudah digaungkan dan dipraktikan, seperti misalnya dengan menggunakan aplikasi MyPertamina di mana hanya kendaraan-kendaraan dengan klasifikasi tertentu yang boleh menyedot BBM bersubsidi, atau mengharuskan pembeli "gas melon" menyertakan KTP untuk memastikan yang bersangkutan masuk kategori layak subsidi.
Fakta dilapangan semua upaya itu belum optimal, kalau tidak mau disebut masih jauh panggang dari api, tak efektif.
Opsi menaikan harga energi bersubsidi pun dalam kondisi perekonomian yang masih tidak menentu seperti saat ini, Â belum memungkinkan, meskipun sebenarnya untuk ekonomi jangka menengah dan panjang opsi menaikan harga energi merupakan pilihan yang paling masuk akal.
Namun harus diingat implikasi dari kenaikan harga energi terutama BBM tak hanya akan berkutat di sisi ekonomi saja, tapi juga bakal merambat ke urusan sosial dan politik. Hampir dapat dipastikan masyarakat akan bereaksi negatif terhadap opsi menaikan BBM.
Dalam bahasa sederhananya, menaikan harga BBM bersubsidi itu secara ekonomi itu benar dan baik, perfectly sound, tapi tidak secara sosial dan politik, it's perfectly bad.
Dan Pemerintah naga-naga nya tak akan mengambil opsi menaikan harga energi dalam waktu dekat. Pemerintah mungkin lebih memilih mencari solusi alternatif lain untuk mengurangi beban subsidi. Seperti melakukan efesiensi subsidi dan mendorong penggunaan sumber energi terbaruka.
Kendati demikian, opsi menaikan harga BBM dan energi lain yang bersubsidi pintunya tak akan ditutup sama sekali, tergantung pada perkembangan nilai tukar Rupiah, harga minyak dunia, kondisi fiskal pemerintah, dan pertimbangan sosial-politik dalam beberapa waktu mendatang.
Jika suatu saat kenaikan harga BBM tak terhindarkan lagi, Pemerintah harus melakukannya dengan hati-hati dan diiringi dengan kebijakan pendukung untuk melindungi masyarakat yang rentan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H