Oleh sebab itu, tanpa  terus berlanjutnya kenaikan harga minyak mentah dan melemahnya kurs Rupiah terhadap US Dollar sekalipun, pagu anggaran subsidi energi dalam APBN 2024 hampir pasti harus dinaikan.
Apalagi potensi kenaikan harga minyak mentah dan pelemahan Rupiah terus berlanjut masih sangat terbuka, dan akan semakin menggerogoti APBN, alhasil tekornya bakal semakin dalam.
Untuk memitigasinya, agar APBN kita tetap bisa survive, dan terus bisa menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi nasional, antara lain dengan mengurangi subsidi energi yang konsekuensinya akan membuat harga jual BBM, LPG, dan listrik ke masyarakat naik, mendekati harga keekonomiannya.
Atau bisa juga lewat cara membatasi konsumsi energi masyarakat dengan jargon "subsidi tepat sasaran" yang mekanismenya cukup ruwet dan secara praksis agak sulit diterapkan.
Toh selama ini, sejatinya jargon subsidi tepat sasaran itu sudah digaungkan dan dipraktikan, seperti misalnya dengan menggunakan aplikasi MyPertamina di mana hanya kendaraan-kendaraan dengan klasifikasi tertentu yang boleh menyedot BBM bersubsidi, atau mengharuskan pembeli "gas melon" menyertakan KTP untuk memastikan yang bersangkutan masuk kategori layak subsidi.
Fakta dilapangan semua upaya itu belum optimal, kalau tidak mau disebut masih jauh panggang dari api, tak efektif.
Opsi menaikan harga energi bersubsidi pun dalam kondisi perekonomian yang masih tidak menentu seperti saat ini, Â belum memungkinkan, meskipun sebenarnya untuk ekonomi jangka menengah dan panjang opsi menaikan harga energi merupakan pilihan yang paling masuk akal.
Namun harus diingat implikasi dari kenaikan harga energi terutama BBM tak hanya akan berkutat di sisi ekonomi saja, tapi juga bakal merambat ke urusan sosial dan politik. Hampir dapat dipastikan masyarakat akan bereaksi negatif terhadap opsi menaikan BBM.
Dalam bahasa sederhananya, menaikan harga BBM bersubsidi itu secara ekonomi itu benar dan baik, perfectly sound, tapi tidak secara sosial dan politik, it's perfectly bad.
Dan Pemerintah naga-naga nya tak akan mengambil opsi menaikan harga energi dalam waktu dekat. Pemerintah mungkin lebih memilih mencari solusi alternatif lain untuk mengurangi beban subsidi. Seperti melakukan efesiensi subsidi dan mendorong penggunaan sumber energi terbaruka.
Kendati demikian, opsi menaikan harga BBM dan energi lain yang bersubsidi pintunya tak akan ditutup sama sekali, tergantung pada perkembangan nilai tukar Rupiah, harga minyak dunia, kondisi fiskal pemerintah, dan pertimbangan sosial-politik dalam beberapa waktu mendatang.