Jabatan Komisaris di Badam Usaha Milik Negara (BUMN) kembali dibagi-bagikan bak permen lolipop, Kursi empuk bergelimang fasiltas fantastis dan pendapatan tinggi ini, dihadiahkan kepada para tokoh atau politisi yang berperan penting dalam pemenangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam Pemilihan Presiden 2024.
Sebut saja, Fuad Bawazier yang saat Pilpres 2024 menjadi Dewan Pembina Tim Kampanye Nasional (TKN) Â Prabowo-Gibran, ditunjuk menjadi Komisaris Utama perusahaan holding Tambang milik negara, MIND.ID.
Selain Fuad, MIND.ID juga menempatkan Grace Natalie politisi dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), salah satu partai, pendukung utama pasangan Prabowo-Gibran  menjadi  anggota Komisarisnya.
Kedua Komisaris baru MIND.ID ini ditetapkan lewat Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) PT. MIND.ID, tahun Buku 2023 yang dilaksanakan Senin, 10 Juni 2024 awal pekan kemarin.
Lantas, di BUMN besar lain, yakni PT. Pertamina, ada nama Simon Aloysius Mantiri Wakil Bendahara Umum TKN Prabowo-Gibran, yang ditunjuk menjadi Komisaris Utama menggantikan BasukiTjahya Purnama yang awal tahun 2024 lalu mengundurkan diri.
Sebelumnya, seperti dikutip dari CNNIndonesia.Com,  pada Mei 2024 Felicitas Tallulembang yang merupakan anggota DPR dari fraksi  Partai Gerindra didapuk menjadi Komisaris Bank Syariah Indonesia (BSI).
Mundur lagi ke belakang , dua nama yang aktif saat pemenangan Prabowo-Gibran, Siti Zahra Agnhia istri Komandan Pemilih Muda  TKN , Muhammad Arief Rosyid Hasan diangkat menjadi PT Pertamina Patra Niaga dan Prabu Revolusi yang "hijrah" dari petinggi TPN Ganjar-Mahfud, menjadi petinggi TKN Prabowo-Gibran pada saat mendekati waktu kampanye ditunjuk sebagai Komisaris Independen PT. Kilang Pertamina Internasional.
Kemudian, ada nama mantan Pengurus Pusat DPP PSI yang belakangan menjadi Staf Khusus Menteri BUMN, sekaligus orang dekat Erick Thohir , Tsamara Amani yang diangkat menjadi salah satu Komisaris PT.PTPN.
Apakah pengangkatan mereka sebagai komisaris di perusahaan negara secara hukum salah,oh tentu tidak., dan semua sepakat tentang itu.
Toh secara aturan dan berbagai teori manajemen perusahaan, yang berhak memilih untuk kemudian mengangkat seseorang menjadi komisaris adalah pemegang saham, dalam konteks BUMN ya Pemerintah sebagai pemegang saham pengendali yang diwakili oleh Kementerian BUMN, memiliki hak  untuk melakukannya, jadi mereka bisa memilih siapa saja sebagai komisaris BUMN.
Dasar hukum pengangkatan komisaris BUMN adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) beserta peraturan pelaksanaannya, yakni Peraturan Menteri BUMN NomorPER-02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Dewan Komisaris dan Dewan PER-03/MBU/03/2023 tentang Organ dan Sumber Daya Manusia Badan Usaha Milik Negara.
Selain itu, terdapat peraturan lain yang relevan, seperti Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) yang juga mengatur mengenai dewan komisaris.
Pertanyaannya kemudian, apakah pengangkatan komisaris BUMN yang terlihat seperti berdasarkan "koncoisme" pantas dilakukan?
Ini pertanyaan yang agak sulit dijawab, lantaran praktik-praktik bagi-bagi jabatan dalam sebuah periode kekuasaan itu sepertinya sudah lazim terjadi, dan secara kasat mata dapat disaksikan begitu telanjang.
Jangankan sebatas jabatan komisaris, jabatan menteri saja dibagikan seperti sedang membagikan ransum makanan meski dengan pertimbangan-pertimbangan politik tertentu, yang lebih elitis.
Biasanya pembagian jabatan dalam suatu periode kekuasaan itu berdasarkan beberapa hal, sehingga mereka memiliki posisi tawar yang kuat dalam mendapatkan jabatan.
Pertama kontribusi seseorang atau kelompok tertentu pada saat pihak berkuasa berjuang meraih kekuasaannya, bisa saja ditinjau dari sisi logistik dan dukungan sosial.
Kedua, sebesar apa size dan pengaruh pihak yang bersangkutan. Perolehan kursi Golkar di Parlemen yang lebih besar dari PAN, pasti akan menjadi pertimbangan Prabowo-Gibran sebagai Presiden Indonesia terpilih dalam menentukan jumlah jabatan menteri yang dipilih.
Ketiga momen mereka saat bergabung dengan koalisi, awal, pertengahan atau akhir, semakin cepat bergabung semakin tinggi rewardnya. Partai Nasdem yang masuk koalisi Prabowo-Gibran belakangan, meskipun size-nya lebih besar dari PAN, jatah menterinya akan lebih sedikit di banding PAN.
Dan terakhir kepintaran masing-masing pihak dalam bernegoisiasi, menjanjikan agar mendapat suatu jabatan yang lebih besar lagi.
Selain posisi menteri, jabatan lain yang kerap dibagikan sebagai kompensasi atas dukungannya dalam sebuah perhelatan demokrasi bertajuk Pilpres adalah Duta besar yng ditempatkan diberbagai negara sahabat.
Namun demikian, jabatan menteri, wakil menteri, atau duta besar dengan jabatan komisaris di sebuah perusahaan itu berbeda, walau hingga titik tertentu memang sama-sama bersifat politis.
Dalam teori Tata Kelola Perusahaan atau Good Corporate Governance (GCG), diterangkan betapa pentingya peran komisaris dalam mengawasi kinerja perusahaan sekaligus memastikan perusahaan dikelola secara transparan, akuntabel dan bertanggungjawab.
Oleh sebab itu dalam proses memilih komisaris harus relevan dengan prinsip-prinsip GCG tadi, apalagi di perusahaan milik negara.
Jangan berharap kalau prosesnya busuk menghasilkan buah kerja yang ranum, sangat mungkin hasilnya busuk juga.
Sejatinya, dalam proses pengangkatan dan pemilihan komisaris di perusahaan-perusahaan BUMN mengacu pada prinsip -prinsip GCG, seperti:
Independensi: Komisaris harus independen dari pengaruh pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) agar dapat menjalankan tugas pengawasan secara objektif.
Kompetensi: Komisaris harus memiliki kompetensi dan pengalaman yang memadai di bidang yang relevan dengan kegiatan usaha BUMN.
Integritas: Komisaris harus memiliki integritas yang tinggi dan tidak memiliki konflik kepentingan dengan BUMN.
Transparansi: Proses pengangkatan komisaris harus dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Proses pengangkatan komisaris BUMN biasanya melibatkan beberapa tahapan, mulai dari penjaringan, seleksi, penilaian keyalakan dan kepatutan hingga terakhir ditetapkan.
Namun dalam praktiknya, tak selalu seperti itu apalagi kalau sudah dipengaruhi oleh faktor-faktor politik.
Hal, seperti yang terjadi saat ini, jabatan komisaris dijadikan bahan bancakan, bagi-bagi kekuasaan sebagai balas budi.
Kalau ini yang terjadi, apakah pengangkatan komisaris BUMN itu pantas, ya silahkan nilai saja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H