Bea Cukai yang berada di bawah otoritas Kementerian Keuangan menurut pandangan saya berawal dari masalah aturan dan sistem yang  mbulet dan diperparah dengan kenyataan bahwa aturan dan sistem yang diberlakukan tersebut nyaris tak diakrabi masyarakat luas.
Keriuhan terkait sebuah instansi bernamaDari sisi "bahasa" yang digunakan dalam aturan saja sudah membuat bingung. Saya agak kurang paham juga sih sebenarnya, kenapa pilihan diksi yang tertulis dalam setiap peraturan yang dibuat dan disusun oleh berbagai unsur pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Â itu cenderung membuat publik bingung, tak mudah dipahami.
Coba apa gunanya menggunakan diksi "Barang Siapa" dalam setiap aturan, barang apaan sih enggak jelas.
Meskipun misalnya bisa dipahami, acapkali rangkaian kalimat dalam peraturan acapkali bersayap atau konotatif, tidak saklek.
Sehingga membuka ruang bagi siapapun untuk menafsirkan sendiri-sendiri, apa yang sebenarnya ingin dituangkan dalam aturan tersebut.
Begini, aturan apapun itu mulai dari undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri hingga  peraturan daerah itu dibuat untuk ditaati oleh seluruh masyarakat.
Apabila aturan tersebut tak bisa dipahami dan saklek oleh masyarakat, bagaimana mereka  dapat mematuhi aturan tersebut. Atau memang sengaja disusun seperti itu agar masyarakat bingung sehingga ada celah untuk "dipermainkan"
Dalam kasus tertahannya alat bantu untuk Sekolah Luar Biasa (SLB)-A Jakarta yang dikirim dari Korea Selatan oleh pihal Bea Cukai  selama dua tahun, yang belakangan ramai itu, disimpulkan olehDirektur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan, Askolani, lantaran antara keduanya terjadi miskomunikasi.
"Jadi SLB, Dinas, kemudian juga PJT mengakui ini tidak terkomunikasi dengan baik sehingga kemudian menyikapinya kurang pas," ujarnya, seperti dilansir Kompas.Com. Selasa (30/04/2024).
Lah gimana ada komunikasi kalau salah satu pihak dalam hal ini masyarakat tak mengetahui atau paham tentang aturan tersebut.
Selain masalah diksi yang digunakan dalam penyusunan sebuah aturan, urusan sosialisasinya pun malas dilakukan oleh si pembuat aturan dalam hal ini Pemerintah.
Padahal mereka memiliki perangkat dan anggaran untuk melakukannya, setiap penyusunan aturan apapun hirarki peraturan tersebut  pasti ada anggaran yang disediakan agar dapat tersosialisasikan kepada masyarakat luas.
Memang sosialisasi dilaksanakan, tapi hanya untuk mengugurkan kewajiban saja, tak tulus agar publik paham. Audience-nya mereka-mereka juga bukan masyarakat awam yang diperkirakan bakal terdampak langaung aturan tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H