Pemerintah kembali akan menaikan cukai rokok sebesar rata-rata 10 persen pada tahun 2024, yang diperkirakan bakal mulai diimplementasikan pada awal tahun depan.
Kebijakan kenaikan cukai rokok ini menggunakan skema serupa yang berlaku pada 2022 lalu, seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua atas PMK Nomor 192 tahun 2021, Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris, yang memang bersifat lintas tahun, 2023 hingga 2024.
Parameter penetapan tarif cukai hasil tembakau ini dihitung per batang atau per gram berdasarkan jenis dan golongannya. Golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Kretek Tangan (SKT), Sigaret Putih Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Putih (SKP).Â
Jadi, kenaikan tarif antar ketiga golongan tersebut bakal berbeda satu sama lain. Tapi jika dihitung rata-rata maka akan ketemu angka 10 persen tadi.
Mengutip keterangan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati seperti yang dirilis Kementerian Keuangan (Kemenkeu) 4 November 2023 lalu, besaran kenaikan untuk jenis SKM golongan I dan II, rata-rata meningkat antara 11,5 hingga 11,75 persen.
Jenis SPM golongan I dan II rata-rata bakal naik sebesar 11 hingga 12 persen. Sementara jenis SKT dan SKP golongan I, II, dan III rata-rata naik 5 persen.
Dengan besaran kenaikan itu maka range harga jual eceran per jenis dan golongan yang dihitung per batang tahun depan adalah sebagai berikut:
1. Sigaret Kretek Mesin (SKM).
Golongan I, harga jual eceran paling rendah bakal menjadi Rp. 2.260 per batang, naik dibandingkan tahun ini yang angkanya sebesar Rp.2.055 per batang.
Golongan II, harga jual eceran paling rendah bakal menjadi Rp.1.380 per batang, dari sebelumnya Rp.1.255 per batang.
2. Sigaret Putih Mesin (SPM)
Golongan I, harga jual eceran paling rendah bakal menjadi Rp.2.380 per batang, naik dari sebelumnya Rp.2.165 per batang.
Golongan II, harga jula eceran paling rendah bakal menjadi Rp.1.465 per batang, naik dibandingkan saat ini yang sebesar Rp.1.295 per batang.
3. Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Putih Tangan (SPT)
Golongan I, Â harga jual eceran paling rendah bakal menjadi Rp.1.375 per batang sampai Rp.1.980 per batang, naik dibandingkan tahun ini yang harga jula terendahnya sebesar Rp.1.250 per batang sampai Rp.1.800 per batang.
Golongan II, harga jual eceran paling rendah bakal menjadi Rp.865 per batang, naik dibanding sebelumnya yang sebesar Rp.Rp.720 per batang.
Golongan III, harga jual eceran terendah akan menjadi Rp.725 per batang, naik dibanding tahun ini yang sebesar Rp.605 per batang.
Dalam menetapkan kenaikan cukai rokok yang berimbas pada kenaikan harga jual rokok di tingkat konsumen ini, Pemerintah seperti disampaikan Sri Mulyani, mempertimbang sejumlah aspek, antara lain mulai dari sisi ketenagakerjaan pertaniannya, hingga eksosistem industri rokoknya.
Data Kementerian Perindustrian menyebutkan total tenaga kerja yang diserap olh sektor industri pengolahan tembakau pada tahun 2019 mencapai 5,98 juta. jumlah tersebut tersebar dari pekerja di sektor manufaktur dan distribusi sebanyak 4,28 juta pekerja, serta 1,7 juta pekerja di sektor pertanian.
Sedangkan merujuk kepada data Badan Pusat Statistik (BPS), industri pengolahan tembakau kelas menangah dan atas mencapai 246.587 pekerja pada tahun 2021, lebih rendah dari tahun sebelumnya sebesar 14 persen.
Penurunan tersebut berbanding terbalik dengan industri rokok kelas mikro, yang naik 289 persen menjadi 1,18 juta pekerja pada tahun 2022.
Intinya, jumlah tenaga kerja yang diserap oleh industri rokok dan pengolahaan tembakau lainnya itu sangat besar, dan hal tersebut harus benar-benar diperhitungkan oleh Pemerintah dalam setiap mengeluarkan kebijakannya.
Di sisi lain, Pemerintah juga harus memerhatikan aspek kesehatan masyarakat, lantaran rokok pada dasarnya  merupakan salah satu penyebab utama gangguan kesehatan  yang dialami masyarakat, bagian dari caranya adalah dengan menurunkan tingkat prevelansi perokok usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen seperti yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, angka prevalansi perokok remaja di Indonesia menurut Kementerian Kesehatan mencapai 22,04 persen pada tahun 2022.
Pertimbangan selanjutnya, tingkat konsumsi rokok di Indonesia ini sudah masuk dalam tahap mengkhawatirkan. Menurut Data Global Adult Tobacco Survey (GATS) jumlah perokok aktif di Indonesia pada tahun 2021, mencapai 70,2 juta jiwa, nomor tiga terbanyak di dunia setelah China dan India.
World of Statistic menyebutkan 70 persen pria Indonesia adalah perokok aktif, dan itu menjadikan Indonesia sebagai pemilik jumlah perokok aktif pria tertinggi di dunia. Data BPS menunjukan rata-rata pemuda Indonesia merokok 11,65 batang per hari.
Bahkan sepeti yang diungkapkan Sri Mulyani, secara nominal nilai konsumsi rokok di indonesia hanya kalah dari pengeluaran masyarakat untuk membeli beras, melebihi  pengeluaran untuk mengkonsumsi sumber protein seperti telur dan daging ayam bahkan tempe dan tahu.Â
Asal tahu saja, menurut BPS pengeluaran per kapita untuk konsumsi rokok mencapai Rp.85,6 ribu  pada tahun 2022. Belum lagi kalau kita berbicara masalah biaya penanganan kesehatan yag disebabkan oleh rokok, jumlahnya pasti sangat besar, mencapai ratusan triliun.
Mengingat hal-hal tersebut di atas, Pemerintah berupaya mengendalikan konsumsi dan produksi rokok, Â salah satunya dengan cara menaikan tarif cukai rokok seperti yang belakangan dilakukan cukup agresif, meskipun besarannya harus tetap mempertimbangkan aspek lainnya di sisi perekonomian termasuk di dalamnya penerimaan negara dan tenaga kerja.
Sebagai tambahan informasi, target penerimaan negara dari cukai rokok tahun 2023 ini sebesar Rp.232,48 triliun, menurut data Kemenkeu dari Januari sampai dengan Oktober 2023, Pemerintah telah mengantongi pendapatan dari cukai rokok sebesar Rp.163,2 triliun.
Sikap Para Pemangku Kepentingan Dalam Industri Rokok
Tentu saja penetapan kebijakan kenaikan cukai rokok ini akan di komentari dan disikapi secara berbeda oleh mereka yang terlibat dalam urusan "rokok merokok" ini.
Pihak yang anti rokok dan mereka yang concern terhadap kesehatan masyarakat pasti bakal berteriak-teriak, "Wah masih terlalu rendah tuh kenaikan tarif cukainya" harga segitu sih masih bisa dibeli masyarakat berbagai kalangan.
Harus diingat, tak bisa juga menaikan cukai terlalu tinggi yang nantinya berimbas  naiknya harga jual rokok ditingkat konsumen, lantaran bisa mematikan industrinya yang menyerap berjuta tenaga kerja dan menyumbang hampir 10 persen pendapatan pemerintah
Selain itu, kenaikan terlalu tajam akan memicu tumbuhnya rokok-rokok ilegal yang tak bercukai, sehingga bisa dijual dengan harga jauh lebih murah, karena cukai merupakan komponen biaya paling besar di Industri Rokok.
Pihak produsen rokok dan para pemangku kepentingannya, juga akan misuh-misuh atas kenaikan cukai ini, mereka beralasan, kenaikan tarif cukai bakal mematikan industri mereka yang akibatnya menimbulkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran di perusahaannya, dan dampaknya akan terasa oleh masyarakat.
Pihak lain yang sebenarnya ingin ikut berkomentar dan benga bengo atas kebijakan kenaikan tarif cukai rokok Pemerintah ini adalah konsumen rokoknya, ya para perokok, yang jumlahnya puluhan juta tadi, tapi karena sejatinya mereka sendiri sadar bahwa merokok itu berbahaya bagi kesehatan diri mereka sendiri dan orang-orang disekitarnya, para perokok ini lebih memilih hanya ngedumel saja "naik lagi, lagi-lagi naik harga rokok" seraya mempertimbangkan tiga opsi, berhenti sama sekali merokok, mengurangi jumlah konsumsi rokok, atau mengakalinya.
Bagi mereka yang bisa berhenti merokok, itu opsi yang paling benar dan idealnya itu lah yang harus dilakukan. Namun, tak semua bisa melakukannya seketika, opsi yang mereka pilih biasanya mengurangi konsumsi jumlah rokoknya, yang biasanya satu bungkus per hari menjadi setengah bungkus per hari misalnya.
Nah, opsi ketiga adalah mengakali kenaikan harga rokok dengan cara mengkonsumsi rokok berharga lebih murah dibandingkan harga rokok yang biasa di konsumsinya, Â tapi memiliki jenis, rasa dan aroma yang tak jauh berbeda.
Misalnya yang biasa merokok berjenis putih merk Marlboro, yang harganya tembus Rp.42.000 per bungkus, berganti menjadi merek lain dengan jenis, rasa, dan aroma serupa tapi berharga lebih murah.
Dan fenomena ini disadari betul oleh produsen rokok baik itu skala besar, menengah, kecil bahkan produsen rokok ilegal, makanya , seiring kenaikan harga rokok imbas kenaikan tarif cukai , banyak sekali muncul merek-merek rokok baru  bahkan tanpa tanda cukai pun banyak.
Mengingat hal tersebut, untuk urusan kenaikan cukai rokok ini, Pemerintah harus mengkalibrasi kebijakannya tersebut dengan seksama dan penuh perhitungan agar menemukan titik keseimbangan yang setidaknya masih dalam kordor "bisa disikapi" semua pemangku kepentingan, walaupun pasti tak akan dapat menyenangkan semua pihak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H