"Siapa orang yang paling susah dinasehati dan dipengaruhi?
Ada dua, orang yang sedang jatuh cinta dan pendukung fanatik  calon presiden."
Begitu kira-kira, adagium lucu-lucuan yang laris manis dikutip saat musim politik datang menjelang.
Kendati terkesan berkelakar, rangkaian kalimat itu sejatinya merupakan hasil observasi perilaku serius yang validitasnya bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kalau kata Eyang Titik Puspa, jatuh cinta itu berjuta rasanya, biar putih, biar hitam  manislah tampaknya.
Esensi cinta, setidaknya cinta yang dimanifestasikan dengan penuh gairah dan romantis, terungkap dalam diksinya.
Jatuh cinta alias falling in love.
Bukan "berjalan" menuju cinta atau mengembara ke dalam cinta. Karena "jatuh" biasanya rasa cinta datang begitu saja, mendadak tanpa sempat berhitung cermat,bahkan hingga "jungkir balik" Â membawa si pemilik rasa pada posisi "buta" terhadap keburukan orang yang "dijatuhcintainya."Â
Panah asmara cupid datang lebih cepat dibanding penilaian dan pertimbangan-pertimbangan rasional.
Menurut artikel yang ditulis Gery Karantzar, Profesor Social Psychologi dari Deakin University Australia, yang saya kutip dari The Conversation, studi Neurofisiologis tentang cinta romantis, menemukan, ketika seseorang sedang dilanda cinta yang menggebu-gebu, ia akan mengalami peningkatan aktivitas di daerah otak yang berkaitan dengan gairah dan kesenangan.
Daerah otak itu merupakan otak bagian depan yang melepaskan bahan kimia seperti oksitosin, vesopresin, dan dopamin yang menghasilkan bahagia tak terhingga dan euforia yang berkaitan dengan gairah dan libido seksual.
Dan faktanya, bagian otak yang diaktifikan oleh cinta sama dengan bagian otak yang diaktifkan oleh narkotika.
Oleh sebab rasa bahagia penuh gairah merupakan sesuatu yang paling dicari oleh semua manusia, maka ketika individu tersebut tengah menggegamnya akan menjadi candu yang nagih sehingga sulit untuk melepasnya, atas dasar itu lah kemudian seseorang yang jatuh cinta itu susah sekali untuk diberi fakta sebaliknya atau dinasehati.