Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Risiko, Ketika Literasi Keuangan Lebih Rendah dibandingkan Inklusi Keuangan

21 Agustus 2023   13:56 Diperbarui: 26 Agustus 2023   20:48 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi generasi milenial menabung, ilustrasi Literasi Keuangan. (Sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com) 

Literasi merupakan salah satu kata paling tenar dewasa ini, meskipun dalam perkembangannya pengertian literasi terus berevolusi beradaptasi dengan konsep kekinian.

Mengutip berbagai sumber referensi yang saya dapatkan, awalnya literasi dimaknai secara terbatas sebagai kemampuan seseorang dalam membaca dan menulis.

Saat ini istilah literasi mengalami perluasan, merambah pada praktik kultural, sosial, politik serta ekonomi dan keuangan.

Definisi baru dari literasi pada hakikatnya dapat diringkas ke dalam lima hal, memahami, melibati, menggunakan, menganalisis dan mentransformasi teks.

Kelimanya, merujuk pada kompetensi lebih dari sekedar memiliki kemampuan membaca dan menulis.

Jadi secara sederhana Literasi bisa didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis.

Dengan perluasan makna tersebut, kini literasi memiliki banyak variasi, seperti literasi digital atau yang kini tengah digencarkan di Indonesia dan akan dibahas dalam tulisan sederhana ini yakni Literasi Keuangan.

Mungkin kita sudah akrab dengan pomeo, "uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang." Uanglah yang membuat dunia ini "berputar" Ini menunjukan betapa pentingnya uang dan juga pengelolaannya.

Oleh karenanya, literasi keuangan menjadi sesuatu yang penting untuk diketahui semua lapisan masyarakat, lantaran urusan hepeng ini merupakan masalah harian yang "harus"dihadapi oleh seluruh manusia di muka bumi ini.

Secara sederhana literasi keuangan dapat diartikan sebagai kemelekan seseorang atas pengelolaan keuangan yang baik dan benar. Sebenarnya tanpa teori fafifu was wes wos, sebagian dari masyarakat kita sudah mempraktikan pengelolaan keuangan yang baik.

Dari dulu orang tua kita selalu menasihati, untuk hidup sederhana,tak berlebihan. Gunakan skala prioritas dalam membelanjakan uang, bedakan antara "keinginan" dan "kebutuhan."

Kalau ada rezeki tambahan, lebih baik uangnya ditabung, siapa tahu di masa yang akan datang kita ada kebutuhan penting atau kalau sudah cukup bisa untuk membeli tanah atau rumah atau mereka juga acap memberi wejangan jangan berhutang atas sesuatu yang tak mampu kita bayar.

Pola pengelolaan uang seperti yang dinasihatkan tadi, merupakan bagian paling penting atau esensi dari literasi keuangan. 

Intinya, tujuan dari keberadaan literasi keuangan adalah agar seseorang mampu mengelola keuangannya supaya kondisi keuangannya stabil dan ujungnya bisa hidup sejahtera, kini dan di masa yang akan datang.

Kompas.id
Kompas.id

Sampai di sini, karena sudah lumayan akrab dengan nasihat-nasihat seperti itu, masyarakat cepat memahaminya. Tetapi ketika masuk pada titik "how to-nya" atau cara untuk mencapai "kondisi keuangan stabil" tadi, mulai deh belibet.

Tapi itu sangat wajar karena memang kondisi "how to" itu sangat tricky,lantaran didorong oleh faktor eksternal dan internal. Secara eksternal jalan menuju ke sana memang banyak sekali cabangnya, serta yang bermain dan ditawarkan di kawasan "how to" tersebut sangat dinamis dan beragam.

Produk-produk yang secara khusus didesain oleh para pelaku sektor jasa keuangan untuk memenuhi kebutuhan "how to" tadi, menjadi seperti hutan belantara baru, yang terkadang penuh jebakan bahkan salah-salah diterkam oleh para predator buas yang sedari awal niatnya memang ingin memangsa.

Lebih rumit lagi, jika dorongan internal yang tak terhindari pun datang dari pribadi pelaku "how to" tadi. Edukator keuangan atau perencana keuangan mau berbusa-busa ngomong apapun, kalau si pelaku "how to" tadi tak memiliki cukup uang untuk "direncanakan"  ya susah juga.

Penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, atau mereka sama sekali tak memiliki penghasilan karena tak ada pekerjaan misalnya, bagaimana mereka mau merencanakan keuangannya, kalau kondisinya begini?

Atau mereka yang terjebak pinjaman online misalnya, apakah mereka tahu bunganya sangat tinggi? apakah mereka tahu potensi data pribadinya diacak-acak? Saya yakin mereka tahu, dan saya pun yakin mereka sebenarya tak berkeinginan ada dalam situasi seperti itu 

Tetapi kondisi internal mereka lah yang membuat dirinya beada di situasi tersebut, sebagian besar dari mereka tak memiliki kemewahan untuk memilih, mereka dipaksa keadaan. 

Support system yang ada disekitarnya tak memiliki kemampuan untuk mengeleminir dorongan kondisi internal tersebut, oleh sebab itu lah, Literasi keuangan yang baik dan benar menjadi sangat penting bagi seluruh masyarakat Indonesia,karena dalam kehidupan sehari-hari kita dituntut melakukan pengambilan keputusan yang tepat dan hal tersebut tidak terlepas dari aspek keuangan.

Selanjutnya, dengan pemahaman literasi keuangan yang baik dan benar, kita akan mampu bertanggungjawab atas setiap pengambilan keputusan  lantaran telah memahami faktor-faktor pendukung dalam pengambilan keputusan tersebut.

Namun, karena berkelindannya aspek-aspek eksternal dan internal tadi, literasi keuangan pada tataran praksis sangat tidak mudah untuk dilakukan.

Padahal, dalam saat bersamaan, didorong oleh perkembangan masif teknologi digital, inklusi keuangan di tengah masyarakat terus melaju kencang.

Menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 76/POJK.07/2016, inklusi keuangan adalah ketersediaan akses pada berbagai lembaga, produk, dan layanan jasa keuangan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Inklusi keuangan diharapkan dapat membuat akses masyarakat untuk mendapat layanan produk sektor jasa keuangan yang aman dan terjangkau terutama produk perbankan menjadi lebih mudah, 

Mengutip catatan Bank Dunia, inklusi keuangan merupakan faktor pendukung utama dalam mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dengan memiliki akses yang mudah ke lembaga, layanan, dan produk-produk sektor jasa keuangan, masyarakat memiliki potensi yang lebih besar dalam mengakumulasi modal untuk mengembangkan usahanya.

Namun demikian, idealnya tingkat inklusi keuangan itu harus sedikit lebih rendah atau beriringan tak terlalu jauh gapnya dengan level literasi keuangan sebuah masyarakat.

Kenapa idealnya seperti itu, analogi sederhananya begini, kita ibaratkan inklusi keuangan itu sebilah pisau, katakanlah pisau itu barang baru sehingga kita tak begitu memahami kegunaan dan cara menggunakannya, agar bermanfaat positif.

Nah, untuk itulah kita harus terlebih dahulu memahaminya melalui literasi keuangan, jika tidak, alih-alih digunakan untuk sesuatu yang manfaat, pisau tadi bisa digunakan untuk sesuatu yang negatif seperti  membunuh orang atau melukai diri sendiri.

Sayangnya, kondisi ideal terkait literasi dan inklusi keuangan  di Indonesia saat ini belum terpenuhi. 

OJK.go.id
OJK.go.id
Menurut hasil Survei Nasioal Literasi dan Inklusi Keuangan Nasional (SNLIK) terbaru, yang dilakukan oleh OJK pada tahun 2022, tingkat literasi keuangan masyarakat indonesia  sebesar 49,68 persen, naik dari SNLIK sebelumnya yang dilaksanakan 2019 yang hasilnya hanya 38,03 persen.

Sedangkan inklusi keuangan masyarakat Indonesia dalam survei yang sama menunjukan tingkat yang jauh lebih tinggi di angka 85,10 naik 5,91 persen dibandingkan tahun 2019.

Hal tersebut menunjukan ada gap yang sangat besar antara tingkat literasi keuangan dengan inklusi keuangan di tengah masayarakat indonesia, yang angkanya mencapai 33,42 persen.

Meskipun, jika dibandingkan dengan gap atau kesenjangan SNLIK 2019 yang sebesar 38.16, angka gap saat ini sudah menunjukan penyempitan.Tetapi masih saja terbilang terlalu tinggi kesenjangannya.

Kondisi ini diakui OJK, seperti diungkapkan oleh anggota Dewan Komisioner sekaligus Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi.

"Secara umum di Indonesia inklusi itu lebih tinggi dibandingkan literasi, artinya lebih banyak orang yang gunakan produk keuangan daripada memahaminya." ujarnya, dalam sebuah kesempatan wawancara, beberapa waktu lalu.

Berarti hal tersebut menunjukan bahwa masyarakat belum sepenuhnya memahami manfaat dan risiko menggunakan produk jasa keuangan.

Kondisi ini menurutnya memang tidak ideal, mengingat gap yang masih tinggi ini berpotensi menimbulkan berbagai banyak masalah dan risiko, diantaranya kesalahpahaman antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) dan konsumen.

Selain itu, kesenjangan antara tingkat literasi dan inklusi keuangan masyarakat yang masih tinggi dapat menyebabkan masyarakat berisiko membuat keputusan keuangan yang salah dan masyarakat dikhawatirkan menggunakan produk jasa keuangan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan tujuan finasialnya.

Atau yang lebih parah ketika masyarakat karena kurang literasi tapi sudah terpapar produk jasa keuangan, terjebak dalam investasi bodong atau pinjaman online ilegal, seperti yang hari-hari kita dengar.

Agar kesenjangan antara literasi dan inklusi keuangani bisa menyempit, OJK harus berusaha lebih keras lagi agar masyarakat lebih memahami sisi finansialnya.

Sejak awal pendiriannya, salah satu tugas pokok dan fungsi OJK adalah masalah penguatan upaya literasi dan inklusi keuangan, belakangan titik beratnya ada disisi literasi keuangan.

Strategi Nasional Literasi Keuangan Indonesia dari tahun 2021 hingga 2025 sudah dsusun dengan sangat komprehensif, saat ini hampir setiap hari kegiatan literasi keuangan kepada berbagai lapisan masayarakat terus dilangsungkan.Bahkan hingga ke titik-titik pulau terluar dan level anak-anak sekolah dasar. 

Berbagai cara dilakukan termasuk penebalan literasi keuangan lewat portal Learning Management System OJK, jika kemudian hasilnya belum maksimal, ya salah satunya karena ada kondisi-kondisi internal di masyarakat yang berada di luar jangkauan.

Namun itu tak bisa juga dijadikan alasan, yang jelas semua pihak terutama para pemangku kepentingan di sektor jasa keuangan harus terus berusaha keras untuk mewujudkan masyarakat yang terliterasi secara baik sisi finansialnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun