Dari dulu orang tua kita selalu menasihati, untuk hidup sederhana,tak berlebihan. Gunakan skala prioritas dalam membelanjakan uang, bedakan antara "keinginan" dan "kebutuhan."
Kalau ada rezeki tambahan, lebih baik uangnya ditabung, siapa tahu di masa yang akan datang kita ada kebutuhan penting atau kalau sudah cukup bisa untuk membeli tanah atau rumah atau mereka juga acap memberi wejangan jangan berhutang atas sesuatu yang tak mampu kita bayar.
Pola pengelolaan uang seperti yang dinasihatkan tadi, merupakan bagian paling penting atau esensi dari literasi keuangan.Â
Intinya, tujuan dari keberadaan literasi keuangan adalah agar seseorang mampu mengelola keuangannya supaya kondisi keuangannya stabil dan ujungnya bisa hidup sejahtera, kini dan di masa yang akan datang.
Sampai di sini, karena sudah lumayan akrab dengan nasihat-nasihat seperti itu, masyarakat cepat memahaminya. Tetapi ketika masuk pada titik "how to-nya" atau cara untuk mencapai "kondisi keuangan stabil" tadi, mulai deh belibet.
Tapi itu sangat wajar karena memang kondisi "how to" itu sangat tricky,lantaran didorong oleh faktor eksternal dan internal. Secara eksternal jalan menuju ke sana memang banyak sekali cabangnya, serta yang bermain dan ditawarkan di kawasan "how to" tersebut sangat dinamis dan beragam.
Produk-produk yang secara khusus didesain oleh para pelaku sektor jasa keuangan untuk memenuhi kebutuhan "how to" tadi, menjadi seperti hutan belantara baru, yang terkadang penuh jebakan bahkan salah-salah diterkam oleh para predator buas yang sedari awal niatnya memang ingin memangsa.
Lebih rumit lagi, jika dorongan internal yang tak terhindari pun datang dari pribadi pelaku "how to" tadi. Edukator keuangan atau perencana keuangan mau berbusa-busa ngomong apapun, kalau si pelaku "how to" tadi tak memiliki cukup uang untuk "direncanakan" Â ya susah juga.
Penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, atau mereka sama sekali tak memiliki penghasilan karena tak ada pekerjaan misalnya, bagaimana mereka mau merencanakan keuangannya, kalau kondisinya begini?
Atau mereka yang terjebak pinjaman online misalnya, apakah mereka tahu bunganya sangat tinggi? apakah mereka tahu potensi data pribadinya diacak-acak? Saya yakin mereka tahu, dan saya pun yakin mereka sebenarya tak berkeinginan ada dalam situasi seperti ituÂ