Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Perpres yang Katanya untuk Jurnalisme Berkualitas dan Efeknya terhadap Para Blogger

4 Agustus 2023   14:32 Diperbarui: 5 Agustus 2023   09:50 959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Konten koran dalam bentuk digital Kompas. (Foto: KOMPAS/RADITYA HELABUMI)

Peraturan, pada dasarnya dibuat untuk menciptakan lingkungan  masyarakat yang harmonis, tertib, juga nyaman, serta memiliki sifat mengikat dan wajib ditaati oleh setiap orang.

Oleh sebab itu, sebagai warga negara yang baik seyogyanya kita harus mematuhi peraturan untuk menciptakan lingkungan masyarakat yang tertib, teratur, aman, dan nyaman.

Namun, tentu saja peraturan yang dibuat tersebut harus memenuhi kaidah-kaidah yang ada dalam azas-azas penyusunan peraturan.

Beberapa ciri peraturan yang baik itu menurut berbagai sumber referensi yang saya dapatkan adalah peraturan itu harus mengikuti perkembangan, tidak multi tafsir dan disampaikan dalam bahasa yang sederhana, sehingga mudah dipahami masyarakat.

Sayangnya, meskipun kita tahu niat awalnya untuk kebaikan, dalam proses penyusunan dan pemberlakuan peraturan, kerap kali justru menimbulkan situasi tidak harmonis, memicu social unrest, serta membuat kehidupan masyarakat menjadi tidak nyaman, berlawanan sama sekali dengan filosofi awal pembuatan peraturan.

Contohnya, saat Pemerintah merilis peraturan baru berbentuk undang-undang  tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yakni Undang-Undang nomor 19 tahun 2019, yang seperti kita tahu menimbulkan kontroversi berkepanjangan dan sempat memicu disharmoni di tengah masyarakat.

Nah, salah satu penyusunan peraturan yang kini tengah menjadi polemik adalah rancangan Peraturan Presiden(Perpres) tentang Tanggung Jawab Platform Digital untuk Jurnalisme Berkualitas, atau biasa disebut Perpres Jurnalisme Berkualitas.

Sejatinya, gagasan awal penyusunan Pepres Jurnalisme Berkualitas tersebut adalah untuk menjawab kegelisahan para pelaku media terutama media arus utama di Indonesia terkait Publisher Right dan nilai ekonomi atas produk jurnalistik media lokal dan nasional yang diagregasi oleh platform digital global seperti Google, Yahoo, Facebook, dan pengumpul berita lainnya.

Dalam perkembangannya kemudian, penyusunan Perpres itu menjadi melebar. Mengutip keterangan Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria, seperti dilansir ABC News, Perpres yang menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sudah diserahkan ke Sekretariat Presiden tersebut paling tidak memuat tiga isu utama.

Pertama, yang berkaitan dengan urusan teknis kerjasama Business to Business antara pelaku media nasional dan perusahaan pemilik platform digital. 

Harapannya dengan aturan ini Pemerintah dapat membangun jembatan antara industri media dan platform digital global agar entitas media di tanah air bisa mempertahankan keberlanjutannya di tengah disrupsi digital.

Nantinya, platform digital akan melakukan semacam penyaringan konten-konten berita yang dihasilkan oleh perusahaan pers, mana yang sifatnya berita dan mana yang bukan.

"Secara umum Perpres Publisher Rights mengatur terkait konten-konten berita yang dihasilkan oleh perusahaan pers. Kemudian platform juga bisa melakukan semacam filtering mana konten yang sifatnya news, mana yang bukan, dan yang news inilah yang dikomersialisasi," jelas Nezar Patria.

Kedua, yang berkaitan dengan data, dan yang terakhir mengenai algoritma, aturan tentang ini dibuat untuk menangkal konten-konten yang potensial mengandung hoaks, misinformasi, serta disinformasi.

Untuk mengawal pelaksanaan Perpres Jurnalisme Berkualitas ini rencananya Pemerintah bakal membentuk komite independen, yang diwacanakan berisi 11 orang, 5 dari Dewan Pers serta sisanya, 5 orang pakar independen yang tak terafiliasi media manapun, dan satu unsur dari Kementerian sebagai wakil dari Pemerintah.

Mereka inilah yang nantinya akan menjadi penjaga pintu, untuk memastikan mana konten-konten yang boleh disebarkan ke publik, mana yang tidak boleh berdasarkan algoritma yang dibuat oleh platform digital.

Algoritmanya ini pun tak bebas nilai, nantinya platform digital lewat aturan tersebut akan dipaksa agar memasukan unsur -unsur kebhinekaan dan kode etik jurnalistik sebagai kata kunci saat menyusun algoritmanya.

Jika benar esensi dari peraturan itu seperti yang dipaparkan di atas, artinya jelas dan terang ada pembatasan dari Pemerintah bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi seluas-luasnya. Ini sensor namanya, apapun itu caranya.

Hal yang seharusnya tak terjadi di era digital seperti ini, di mana kebebasan berpendapat dan mendapat informasi dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan undang-undang yang hirarki hukumnya di atas Perpres.

Menyikapi rancangan Pepres Jurnalisme Berkualitas ini, Google sebagai pihak yang berkepentingan langsung, menyatakan keberatannya, lewat blog resmi milik mereka.

Jika rancangan Perpres ini disahkan, Google lewat mesin perambannya, tak bisa lagi menyediakan pilihan sumber informasi kredibel dan beragam di Indonesia.

Lantaran algoritmanya akan disetting hanya untuk konten-konten yang telah disetujui oleh Pemerintah yang biasanya bakal mengacu pada perusahaan-perusahaan media besar, yang secara struktur lebih terorganisasi dan memiliki kapabilitas untuk sejalan dengan kode etik jurnalistik seperti yang telah ditetapkan.

Dengan demikian, menurut Google, alih-alih membangun jurnalisme berkualitas, peraturan ini justru dapat memberangus keberagaman sumber berita bagi publik, lantaran kekuasaan dalam menentukan mana berita yang boleh tayang online, mana yang tidak, diberikan pada sebuah lembaga non-pemerintah dan konten berita mana saja yang boleh menghasilkan uang dari iklan, mana yang tidak diperkenankan.

Apabila pendapat Google ini memang benar, artinya yang akan terdampak langsung dari Perpres adalah para pembuat konten, baik itu yang bersifat teks seperti blogger, atau pun konten-konten yang produknya audio visual seperti Youtuber.

Andai ini benar, salah satu yang akan terdampak mungkin Kompasiana dan para penulis di dalamnya, karena sangat mungkin kita tak akan lagi menemukan tulisan kita di mesin pencari Google karena dianggap tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik.

Meskipun secara naluriah sebagai penulis kita selalu mencoba agar berimbang dalam menuliskan opininya, tapi sangat mungkin jika diukur menggunakan kode etik jurnalistik yang saklek , ya tak sesuai juga.

Apalagi jika kita bicara dari sisi pendapatan, yang diukur berdasarkan berapa banyak viewer yang membaca artikel kita. Selama ini, tanpa bantuan algoritma Google tak mungkinlah artikel di Kompasiana bisa dibaca hingga ribuan bahkan jutaan.

Sungguh ini sangat mengkhawatirkan, dan peraturan ini bisa membawa kita mundur 25 tahun ke belakang, ke masa Orde Baru yang benar-benar membatasi keberagaman sumber informasi.

Peraturan ini sebenarnya demi kepentingan siapa sih dibuat? Mogul-mogul media yang selama ini merasa kuenya ikut dimakan oleh masyarakat luas atau gimana?

Come on, lebih baik Pemerintah fokus menguatkan literasi kepada masyarakat dibandingkan membuat aturan-aturan untuk membatasi keberagaman informasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun