Sebagai sebuah partai, saya kira ketangguhan Partai Golkar sudah teruji, strukturnya sangat kuat, jaringannya luas, dan loyalitas kadernya tak diragukan lagi.
Bayangkan saja saat reformasi 1998 berlangsung, Golkar dalam posisi sangat genting, karena diasosiasikan sebagai kendaran politik Soeharto dan Orde Baru-nya, Golkar menjadi semacam musuh bersama masyarakat Indonesia yang habis dibully bahkan sempat terancam akan dibubarkan.
Namun satu tahun setelahnya, pada saat Pemilu pertama pasca reformasi pada 1999, Golkar secara ajaib menjadi partai terbesar ke-2 dengan raihan suara 22,43 persen dari total suara, di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang saat itu menjadi pemenangnya
Begitu pun pada pemilu -pemilu berikutnya, meskipun sempat dibekukan oleh Presiden Gus Dur, melalui dekrit yang  dikeluarkan pada Juli 2001, setelah dekrit itu dibatalkan Mahkamah Agung, Golkar kembali mampu bertarung sehingga masuk sebagai partai papan atas. Puncaknya pada Pemilu 2004, Golkar menjadi pemenang dengan meraih 21,57 persen dari total suara.
Lima tahun kemudian saat Partai Demokrat merajai raihan suara dan menjadi pemenang Pemilu 2009 dengan 20,81 persen suara, walaupun suaranya merosot menjadi tinggal 14,45 persen, Golkar masih menjadi runner-up.
Pada Pemlu 2014, capaian Golkar memang tak banyak berubah dari Pemilu 2009 dengan raihan 14,75 persen suara. Posisinya berada diurutan ledua setelah PDIP.
Dalam Pemilu berikutnya pada tahun 2019, Golkar meraih suara sebanyak 17,23 juta atau 12,37 persen dari total suara. Posisinya menurun berada di tiga besar di bawah PDIP dan Partai Gerindra.
Padahal saat mendekati Pemilu dihantam gonjang-ganjing internal setelah pada tahun 2017, Ketua Umum Golkar saat itu Setya Novanto terjerat kasus korupsi  e-KTP yang dengan berbagai dramanya menjadi sorotan publik
Dengan fakta dan data di atas, intinya secara kolektif mesin Partai Golkar sebagai pengumpul suara  sangat bisa diandalkan, terlepas pasang surut yang terjadi di internalnya atau pun pengaruh dari external.
Sayangnya, entah karena sistem organisasi di internalnya atau sebab lain, dalam setiap pemilu, Golkar hampir selalu tak mampu menghadirkan figur kuat, Â yang memiliki elektabilitas tinggi untuk menjadi calon pemimpin bangsa dari kadernya sendiri.
Mungkin hanya ada satu nama dari Partai Golkar pasca reformasi yang lumayan moncer yaitu mantan Ketua Umumnya Jusuf Kalla.
Memang ada sih nama-nama lain yang populer di Partai Beringin seperti Luhut Binsar Panjaitan, tetapi elektabilitasnya ya so so saja, bahkan masuk radar lembaga survei saja tidak.Â
Kalau misalnya Golkar memiliki sosok seperti Jokowi, Ganjar Pranowo, Prabowo, atau Anies Baswedan, ceritanya akan berbeda.
Kisruh di Golkar seperti yang sekarang berlangsung, tak akan terjadi apabila ada figur kuat dari internal kadernya sendiri  dengan elektabilitas tinggi untuk diusung jadi bacapres.
Sekarang coba siapa figur di Golkar yang namanya moncer, Airlangga Hartarto? elektabilitasnya golongan nasakom, nasib satu koma.
Ridwan Kamil, memang popularitas dan elektabiltasnya tinggi tapi dia kan bukan kader asli Golkar yang mengakar di grassroot.
Mungkin baru di Pemilu 2029 mendatang nama Ridwan Kamil akan lebih mengakar di Golkar, tapi tidak untuk Pemilu 2024, itu pun dengan catatan Gubernur Jawa Barat itu setia berbaju kuning.
Hal ini seharusnya menjadi koreksi bagi Golkar, bagaimana mereka mampu mencetak sosok-sosok yang populer sekaligus memiliki elektabilitas tinggi.
Ya, untuk Pemilu 2024 ini sih terpaksa Golkar menjadi follower lagi, menempel pada Koalisi yang paling mungkin menang, ya antara koalisi pengusung Prabowo dan Ganjar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H