Jumat (23/06/2023) pagi ini seperti biasa saya menumpang Kereta Commuterline Jabodetabek dari arah Bogor menuju Jakarta tempat mengais rezeki, unfortunetly jadwal kegiatan hari ini memaksa saya untuk transit di Stasiun "sentral" Manggarai.
Kepadatan penumpang pada saat transit di Stasiun Manggarai berlangsung seperti biasa, padat banget.Â
Kita tahu bersama, kondisi tersebut selain karena prasarana yang ada kurang sesuai dengan karakteristik pergerakan penumpang kereta shuttle dan jadwal perjalanan  yang cenderung utopis, saat ini operator kereta commuter, PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) sedang kekurangan rangkaian KRL.
Siklus usia pakai rangkaian KRL menjadi penyebabnya, sehingga harus dipensiunkan demi keselamatan dan kenyamanan pengguna. Menurut PT. KCI, tahun ini 10 rangkaian kereta harus dipensiunkan, dan tahun depan ada 19 kereta yang harus dihentikan operasinya karea alasan yang sama. Jadi, dalam 2 tahun ke depan, paling tidak ada 29 rangkaian kereta yang harus di-replacement.
Oleh sebab itu, kemudian bersama induk usaha PT.KCI, PT. Kereta Api Indonesia (KAI) mereka mengajukan proposal kepada para pihak terkait dalam hal ini Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan yang berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi untuk mengimpor KRL bekas pakai dari Jepang, dengan alasan untuk menambal kebutuhan armada kereta yang harus dipensiunkan tersebut, sambil menunggu PT. INKA, industri kereta api dalam negeri selesai mengerjakan pemesanan kereta baru mereka, yang rencananya baru bisa di deliver pada tahun 2026 mendatang.
Sifat dari impor KRL eks Jepang tersebut urgent atau mendesak, karena jika tak segera dilaksanakan pelayanan transportasi commuter Jabodetabek bakal terganggu.
Alih-alih direspon positif dengan cepat oleh Pemerintah, impor KRL eks Jepang untuk kebutuhan urgent tersebut menjadi polemik berkepanjangan yang berujung pada satu kesimpulan.Â
Pemerintah menolak impor KRL eks Jepang dengan alasan berpotensi melanggar 3 aturan yakni Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Kemenperin dan Kemenhub, seperti disampaikan Menko Marves, Luhut Binsar Panjaitan.
Alasan yang diungkapkan Luhut ini berbeda dengan kilah Kemenperin saat menolak impor kereta bekas, karena industri kereta api nasional mampu memproduksi kebutuhan dalam negeri.
Padahal faktanya, PT.INKA satu-satunya produsen gerbong kereta api di Indonesia seperti diungkapkan Menteri BUMN Erick Thohir kondisi keuangannya masih negatif, tanpa suntikan modal baru dari Pemerintah cashflow-nya tak memungkinkan untuk memproduksi jumlah yang dibutuhkan PT.KCI.
Namun kondisi tersebut, tak menyurutkan "semangat" Pemerintah untuk menolak memberikan izin impor kereta bekas pakai Jepang. Kini Pemerintah beralasan, jika impor tetap dilakukan melanggar peraturan-peraturan yang ada di berbagai kementerian.
Dampak dari penolakan impor kereta eks Jepang oleh Pemerintah tersebut, selain berpengaruh sangat besar terhadap pelayanan kepada para pengguna KRL, juga akan berimplikasi pada sisi keuangan PT KAI, seperti dituturkan oleh Direktur Utama PT KAI, Didiet Hartaniyo.
Pembengkakan nilai investasi PT.KAI untuk pengadaan kereta baru yang jumlahnya lebih dari Rp.4 triliun dan pembengkakan pada public service obligation atau subsidi tarif bagi masyarakat.
Implikasi dari terganggunya sisi keuangan KAI yang sepertinya bakal langsung dirasakan oleh masyarakat adalah kemungkinan kenaikan tarif KRL.
Bayangkan, pelayanan memburuk karena jumlah rangkaian kereta terus berkurang, sementara di saat yang bersamaan tarif dinaikan. Kurang apa lagi derita yang harus ditanggung oleh para pengguna transportasi berbasis rel, yang katanya menjadi prioritas dalam pembangunan angkutan umum nasional.
Luar biasa memang cara Pemerintah dalam mengelola negara ini.Â
Lebih masygulnya lagi, dalam saat hampir bersamaan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto,mengeluarkan keputusan untuk mengimpor barang bekas juga, tapi bentuknya pesawat tempur, jenisnya Mirage 2000-5 sebanyak 12 unit.
Pesawat buatan perusahaan Dassault Aviation tersebut merupakan bekas pakai Angkatan Udara Qatar, yang menurut sejumlah ahli aviasi dan pertahanan usia pakainya hanya tinggal 10 tahun saja.
Alasan dari Menhan membeli pesawat bekas karena langkah itu paling mungkin dilakukan untuk mengisi celah kekuatan udara lima tahun ke depan.
Selain itu, walaupun berusia uzur, teknologi Mirage 2000-5 disebut sudah dekat dengan generasi pesawat tempur mutakhir sehingga dengan memakainya bisa jadi transisi menuju penggunaan pesawat defenitif yang sudah dipesan dari perusahaan aviasi yang sama Dassault, Rafale.
Berbeda sikap, kali ini Pemerintah memberi restu impor barang bekas berjenis pesawat tempur ini, seperti yang diungkapkan oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, "Kecuali yang diatur, ada yang boleh impor misalnya F-16, itu jangan diimpor baru, mahal" katanya seperti yang dilansir situs Kemendag.go.id. Beberapa waktu lalu.
Aturan terkait barang bekas yang boleh diimpor dalam keadaan tidak baru alias bekas, ada dalam Permendag Nomor 25 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.
Jika demikian, kenapa tidak aturan ini juga digunakan saat mengimpor kereta eks Jepang tersebut, toh kalau mengacu pada ucapan Zulhas  bahwa impor barang bekas diperbolehkan karena "mahal" jika beli baru.Â
Memang kalau beli baru, rangkaian KRL murah? iya sih lebih mahal pesawat tempur tapi kan tak murah-murah juga harga kereta baru itu, kalau dianggap murah kenapa tidak dari dulu beli kereta baru saja.
Iya sih, sekarang seperti dikatakan Luhut, Pemerintah akan membeli rangkaian kereta baru, tapi hanya 3 set rangkaian saja padahal yang dibutuhkan KCI, 29 rangkaian kereta.
Sisanya, masih menurut Luhut, rangkaian kereta yang sudah harus dipensiunkan tersebut bakal di retrofit atau diperbarui dengan cara diganti hampir semua komponennya dengan suku cadang baru agar bisa memperpanjang waktu pakainya antara 5 hingga 10 tahun ke depan.
Dalam prosesnya, seperti dijelaskan oleh pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Aditya Dwi Laksana Retrofit dibutuhkan waktu sekitar 17 bulan atau 1 tahun 5 bulan, karena praktis hanya body KRL-nya saja yang tak diutak-atik, diluar itu mulai dari mesin elektriknya hingga penggeraknya diganti baru.
Dan untuk mendapatkan suku cadangnya, itu juga tidak mudah karena tak semuanya ready stock, bisa menunggu impor atau diproduksi di dalam negeri.
Dengan kondisi tersebut potensi pengurangan armada dalam jangka waktu cukup lama sangat mungkin terjadi, ujungnya yang terimbas ya pengguna KRL lagi, tak terangkut atau bersiap himpit-himpitan lebih dahsyat lagi.
Hal-hal ini sudah disampaikan kepada Pemerintah, saat proses pengambilan keputusan masih belum final, tapi seperti kita tahu mereka keukeuh tak bergeming "tolak Impor KRL bekas" padahal dampak dan urgensinya sudah jelas pula terpampang.
Tapi, in the other hand impor pesawat tempur bekas seperti diberi karpet merah, mungkin pada dasarnya mereka tak terlalu peduli, toh hanya sejuta orang yang bakal terdampak, lagipula para pejabat pembuat keputusan tak pernah juga merasakan naik KRL di jam-jam sibuk sebagai masyarakat biasa, jadi...ya Who Cares
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H