Jika demikian, kenapa tidak aturan ini juga digunakan saat mengimpor kereta eks Jepang tersebut, toh kalau mengacu pada ucapan Zulhas  bahwa impor barang bekas diperbolehkan karena "mahal" jika beli baru.Â
Memang kalau beli baru, rangkaian KRL murah? iya sih lebih mahal pesawat tempur tapi kan tak murah-murah juga harga kereta baru itu, kalau dianggap murah kenapa tidak dari dulu beli kereta baru saja.
Iya sih, sekarang seperti dikatakan Luhut, Pemerintah akan membeli rangkaian kereta baru, tapi hanya 3 set rangkaian saja padahal yang dibutuhkan KCI, 29 rangkaian kereta.
Sisanya, masih menurut Luhut, rangkaian kereta yang sudah harus dipensiunkan tersebut bakal di retrofit atau diperbarui dengan cara diganti hampir semua komponennya dengan suku cadang baru agar bisa memperpanjang waktu pakainya antara 5 hingga 10 tahun ke depan.
Dalam prosesnya, seperti dijelaskan oleh pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Aditya Dwi Laksana Retrofit dibutuhkan waktu sekitar 17 bulan atau 1 tahun 5 bulan, karena praktis hanya body KRL-nya saja yang tak diutak-atik, diluar itu mulai dari mesin elektriknya hingga penggeraknya diganti baru.
Dan untuk mendapatkan suku cadangnya, itu juga tidak mudah karena tak semuanya ready stock, bisa menunggu impor atau diproduksi di dalam negeri.
Dengan kondisi tersebut potensi pengurangan armada dalam jangka waktu cukup lama sangat mungkin terjadi, ujungnya yang terimbas ya pengguna KRL lagi, tak terangkut atau bersiap himpit-himpitan lebih dahsyat lagi.
Hal-hal ini sudah disampaikan kepada Pemerintah, saat proses pengambilan keputusan masih belum final, tapi seperti kita tahu mereka keukeuh tak bergeming "tolak Impor KRL bekas" padahal dampak dan urgensinya sudah jelas pula terpampang.
Tapi, in the other hand impor pesawat tempur bekas seperti diberi karpet merah, mungkin pada dasarnya mereka tak terlalu peduli, toh hanya sejuta orang yang bakal terdampak, lagipula para pejabat pembuat keputusan tak pernah juga merasakan naik KRL di jam-jam sibuk sebagai masyarakat biasa, jadi...ya Who Cares
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H