Entah apa yang terjadi dengan pertarungan politik elektabilitas di negeri ini, urusan panjang pembangunan jalan saja diributkan begitu rupa, saling berdebat, pemerintahan siapa yang membangun jalan paling panjang di negeri ini, udah begitu berhari-hari pula seolah tidak ada hal lain yang lebih penting untuk dibahas lagi.
Berawal dari kritik pembangunan infrastruktur jalan di era kepemimpinan Jokowi seraya membandingkannya dengan masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Presiden, yang disampaikan oleh bakal calon presiden dari Koalisi Perubahan, Anies Baswedan.
Anies menyebutkan bahwa pada masa SBY berkuasa jalan nasional yang dibangun sepanjang 11.800 km, sedangkan hingga saat ini jalan nasional yang sudah dibangun Jokowi hanya sepanjang 599 kilometer saja.
Konteks awalnya, Anies mencoba memaparkan bahwa negara yang ekonominya didominasi sektor  ekstratif cenderung  abai terhadap pelayanan publik dan pembangunan infrastruktur jalan, karena di jaman Jokowi, menurut Anies titik berat pembangunan jalan lebih ke arah jalan berbayar alias jalan tol dibandingkan jalan arteri nasional yang tak berbayar.
Dasar pernyataan Anies terkait panjang jalan tersebut adalah data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang konon menurut Juru Bicaranya Hendri Satrio dikutip dari situs berita daring Katadata.co.id.
Tentu saja, pernyataan Anies tersebut membuat berbagai pihak terutama para pendukung Pemerintahan Jokowi bertanya-tanya,Â
"Oh Really?
Kita tahu semua, secara kasat mata dan juga jelas terlihat dan bisa dirasakan semua orang, diakui atau tidak, bahwa program jagoan Pemerintahan Jokowi adalah pembangunan infrastruktur termasuk jalan sudah dilaksanakan dengan baik, dan itu datanya sudah menjadi pengetahuan umum yang bisa diakses oleh siapapun.
Contoh nyatanya, adalah pembangunan jalan non-tol alias jalan nasional gratis, Trans Papua yang diinisiasi oleh Presiden Jokowi pada tahun 2015.
Mengutip Kompas.com, pembangunan jalan tersebut membentang dari wilayah Kepala Burung Sorong Papua Barat hingga wilayah Merauke, Papua.
Total panjang jalan tersebut 3.462 km, lebih dari 4 kali lipat jarak antara Jakarta-Surabaya yang tercatat lebih dari 800 km.
Hingga September 2021 saja, pembangunan jalan Trans Papua sudah tembus sepanjang 3.446 km. Betul belum semuanya belum mulus dan beraspal, yang kondisinya seperti ini baru sepanjang 1.733 km, sedangkan sisanya 1.712 km masih belum beraspal.
Dengan fakta ini, hanya dari pembangunan jalan nasional gratis di Trans Papua saja, panjang jalan pada masa Pemerintahan Jokowi sudah jauh lebih panjang dari klaim Anies saat mengkritik yang menurutnya hanya 599 km saja.
Belum lagi jika kita berbicara  pembangunan jalan nasional non-tol di daerah-daerah lain terutama di beberapa daerah perbatasan yang selama ini tertinggal, ya pasti lebih jauh lebih panjang lagi kilometernya.
Menurut data BPS, total panjang jalan di Indonesia hingga tahun 2022 mencapai 549.161 km.
Jika dibandingkan dengan tahun 2016 di masa awal periode pertama Pemerintahan Jokowi hingga tahun 2022 ada penambahan jalan sepanjang 11.324 km.
Katakanlah panjang jalan tersebut dikurangi dengan pembangunan jalan tol di era Jokowi yang menurut data Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) per Maret 2023 mencapai 1.697 km.
Maka pembangunan jalan nasional non-tol, tak berbayar di masa Jokowi mencapai 9.627 km, hampir 20 kali lipat dari klaim Anies dalam kritiknya tersebut yang katanya hanya 599 km saja.
Aneh saja, Anies Baswedan sebagai seseorang yang pernah menjabat di Pemerintahan sebagai Menteri dan Gubernur serta sebelumnya adalah seorang akademisi, tak berpikir logis berdasarkan fakta-fakta yang ada.
Malah hanya sekedar membaca data yang bersumber dari media daring tanpa melalui analisa yang komprehensif terlebih dahulu, sesuatu yang seharusnya dimiliki oleh orang dengan kapasitas sekelas Anies Baswedan yang katanya bakal menjadi calon presiden, bukan calon lurah.Â
Ndilalahnya, ternyata dugaan salah membaca data tentang panjang jalan di dua pemerintahan berbeda oleh Anies itu terkonfirmasi setelah dalam kesempatan lain pasca pernyataan Anies ini rame menjadi polemik, birokrat dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang merupakan si "empunya" jalan di Indonesia menerangkan dengan lebih jelas terkait data yang bersumber dari BPS tersebut.
"Yang disebut bahwa pembangunan jalan SBY lebih panjang dari zaman Jokowi, bukan itu data BPS. Jadi salah interpretasi data BPS," ujar Dirjen Bina Marga Kementerian PUPR, Hedy Rahardian, seperti dilansir Kumparan.com. Rabu (24/05/2023) kemarin.
Menurut Hedy, panjang jalan pada masa SBY berkuasa seperti yang disampaikan Anies bukan karena jalannya yang dibangun baru, tapi karena perubahan status dari jalan provinsi menjadi jalan nasional.
Sebagai tambahan informasi, merujuk pada Undang-Undang nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan, jalan yang ada di Indonesia fungsi dan statusnya terbagi ke dalam beberapa kelompok.
Status jalan di Indonesia terbagi menjadi 5 jenis, yakni :
Jalan Nasional, yang merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang  menghubungkan antar ibukota provinsi, jalan strategis nasional dan jalan tol.
Jalan Provinsi, jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota atau antar ibukota kabupaten/kota dan jalan strategis provinsi.
Kemudian ada status jalan Kabupaten, jalan Kota dan jalan desa.
Nah dalam konteks, perubahan status tersebut Hedy mencontohkan, ada jalan dengan status jalan provinsi yang sudah terbangun jauh sebelumnya, Â kemudian SK peralihan status jalannya dari jalan provinsi menjadi jalan nasional baru keluar pada masa Pemerintahan SBY.
Jadi bukan menambah pembangunan jalan baru pada masa Pemerintahan SBY seperti klaim Anies Baswedan.
Mendapati pernyataan Dirjen Bina Marga PUPR tersebut, giliran kubu Anies yang meradang, apalagi kemudian kritik dengan membandingkan pembangunan jalan di era Jokowi dan masa SBY menjadi back fire bagi Anies, di media sosial, ia dibully.
Terlepas dari perdebatan panjang jalan yang sebenarnya tidak produktif selain sebagai gimmick politik kelas kaleng-kaleng ini, kita harus sadari bahwa dalam setiap masa Pemerintahan siapapun Presidennya memiliki tantangan dan kesempatan yang berlainan.
Dan faktanya pembangunan sebuah negara itu antar setiap masa pemerintahan pasti berkesinambungan. Pembangunan masa Jokowi tak mungkin berlangsung dengan baik, jika pembangunan pada masa Pemerintahan SBY buruk.
Tak elok lah membandingkan secara head to head antar masa pemerintahan yang berbeda hanya untuk kepentingan politik elektoral pribadi dan kelompoknya saja, apalagi keduanya tak lagi "bertempur" dalam Pemilu atau Pilpres 2024 mendatang.
Ya, bagi mereka yang akan bertarung di Pemilu 2024,sampai kan saja gagasan dan bagaimana mengejawantahkannya bukan membentur-benturkan dua masa pemerintahan yang berbeda, hanya untuk mencari legitimasi "Perubahan"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H