Karena ST 010 adalah surat berharga negara berbasis syariah maka dijamin oleh Undang-Undang nomor 19 tahun 2008 tentang SBSN dan Undang-Undang tentang APBN.
Jadi dalam setiap penyusunan  APBN selalu ada pengalokasian anggaran untuk pembayaran imbal hasil dan pokok dari SBN yang masuk masa jatuh tempo.
Dan ingat, sepanjang sejarah penerbitan SBN atau SBSN baik umum maupun ritel tak pernah sekalipun Pemerintah Indonesia gagal bayar atau default.
Risiko investasi  ST 010 pun terbilang sangat rendah kalau tidak boleh disebut bebas risiko, setara dengan deposito di bank.
Menariknya, skema imbal hasil ST 010 ini pun keren dan berpotensi besar menguntungkan investor.
Karena salah satu karakteristik dari ST 010 tersebut tak dapat diperjualbelikan kembali antar investor domestik di pasar sekunder, maka imval hasilnya bersifat mengambang alias bisa berubah-ubah sejalan dengan perubahan suku bunga acuan BI.
Namun dengan konsep imbal hasil floating with the floor atau mengambang dengan batas minimal, maka imbal hasil yang ditawarkan bisa naik tetapi tidak tak akan bisa turun
Karena batas minimalnya, ya saat imbal hasil dari ST010 Â tersebut ditawarkan pertama kali ke publik.
Jika dalam perjalanannya selama masa jayuh tempo belum tiba, Â BI menurunkan suku bunga acuan, imbal hasil ST 010 akan tetap.
Namun jika suku bunga acuan BI naik, maka imbal hasilnya akan ikut naik. Sinkronisasi dan reviewnya  akan dilakukan setiap 3 sekali.
Mengenai masalah ke-syariah-annya, ST 010 sudah dipastikan syariah banget, lantaran dalam pengelolaan imbal hasilnya menggunakan pendekatan Asset to be leased atau dalam bahasa syariah di sebut akad Ijarah alias sewa menyewa.