Dalam Pasal 1 ayat (3) UU Ketenagakerjaan buruh didefinisikan sebagai "setiap orang yang bekerja dengan menerima upah, atau imbalan dalam bentuk lain"
Jadi semakin terang, bahkan Direktur Utama Bank swasta atau BUMN sekalipun jika mengacu ayat tersebut statusnya adalah "Buruh" sama halnya dengan pekerja garment di perusahaan tekstil di Cikarang sana.
Definisi buruh sedemikian luas, karena dalam setiap UU yang ada tak pernah diatur mengenai perbedaan soal status. Saat ada sebuah hubungan dan perjanjian kerja, maka pihak yang menerima upah, gaji, atau salary, baik harian maupun bulanan, ya disebut buruh.
Bahkan tak ada aturan spesifik yang menjelaskan harus ada tempat kerja tertentu yang membuat seseorang bisa disebut buruh.Â
Seperti yang tertulis dalam ayat lain di pasal yang sama UU Ketenagakerjaan, yaitu Pasal 1 ayat (15) dijelaskan bahwa perjanjian kerja harus memenuhi unsur adanya pekerjaan, upah, dan perintah.
Tak ada satu pun kata yang menunjukan "tempat" dalam ayat tersebut.Artinya  bekerja dimanapun dengan menggunakan media apapun, bahkan hanya dengan sekedar pesan WA sekalipun asal memenuhi unsur adanya pekerjaan, perintah,dan diberikan upah setelahnya, berdasarkan UU tersebut ya di sebut buruh.
Pun demikian, seandainya assignment pekerjaan yang diberikan pemberi kerja itu bersifat jangka pendek atau temporer, sepanjang ada unsur pekerjaan, perintah, dan upah maka statusnya ya buruh juga.
Jenis pekerjaan seperti ini biasanya disebut freelance, dan pelakunya disebut sebagai freelancer, jenis pekerjaan yang seperti ini biasanya ada dibidang-bidang teknologi, seni, dan budaya.
Oleh sebab itu sangat bisa apabila seorang programer, artis film, penyanyi, pelukis hingga penulis dikategorikan sebagai buruh.
Jadi, sepanjang  kita bekerja pada pihak lain dan mendapatkan upah atau imbalan dalam bentuk lain, ya buruh. Buruh tak terbatas pada sematan untuk para kuli kasar atau pekerja pabrik atau mereka yang bekerja di sektor-sektor manufaktur.
Â