Hingga tulisan ini dibuat, pada Kamis (27/04/2023) siang, saya belum memutuskan untuk memilih siapa dalam Pemilu dan Pilpres 2024, meskipun most likely, hampir dapat dipastikan tak akan memilih Anies Baswedan dan siapapun partai yang mendukungnya.
Alasannya, cara berpikir dan prespektif  politik, sosial, ekonomi, dan budaya saya tak sejalan dengan para pendukung Anies Baswedan, itu saja. Sebagai personal, tak ada yang salah dengan Anies, pendidikannya bagus, attitude-nya juga tak jelek, rekam jejaknya tak buruk-buruk amat.
Cap Islam garis keras yang cenderung menggunakan politik identitas dalam perhelatan demokrasi yang dilekatkan sebagian pihak kepada Anies pun, saya kira kurang fair, lantaran sepanjang dirinya berkiprah di dunia politik, saya belum pernah mendengar, bahwa Anies terlibat langsung merancang jargon kampanye yang berkaitan dengan politik identitas.
Apa yang terjadi pada Pilkada DKI 2017, yang kemudian menjadi semacam momen inagurasi bagi Anies untuk disebut sebagai "bapak politik identitas" seperti disematkan sebagian pihak, tak bisa juga membuktikan secara empiris bahwa Anies ikut berperan aktif dalam mengusung apa yang disebut "jual mayat dan ayat" demi kemenangannya di Pilkada yang sangat fenomenal tersebut.
Salahnya Anies, ia tak terdengar melarang atau setidaknya memberikan klarifikasi setelah kontestasi politik di DKI itu selesai, ia malah memanas-manasi situasi dengan pernyataan terkait "pribumi" dalam pidato pertamanya sebagai Gubernur DKI, saat itu.
Jadi intinya, Anies Baswedan sebenarnya sangat layak untuk diusung sebagai seorang bakal calon presiden yang juga sangat layak untuk dipilih.
Dalam prespektif saya, sayangnya kelayakan Anies untuk dipilih ini tak didukung oleh infrastruktur pendukungnya. Mengutip sejumlah pengamat politik nasional, 80 persen pendukung Anies adalah pihak yang selama ini berseberangan dengan Jokowi.
Anies Baswedan dianggap sebagai simbol bagi perlawanan mereka terhadap rezim Pemerintahan Jokowi, artinya dukungan yang diberikan kepada Anies lebih bersifat emosional dibandingkan rasional.
Saya tak terlalu memahami bagaimana mereka mau mendukung kemenangan Anies sebagai Presiden Indonesia ke-8 dengan mengesampingkan hal-hal yang rasional seperti misalnya jumlah rakyat yang dalam dua pemilu terakhir menduung Jokowi.
Para pendukung Anies, karena sebagian besar dihuni oleh"pembenci" Jokowi dan Pemerintahannya, narasi yang dibangun dalam mendukung Anies, lebih banyak menyerang Pemerintah Jokowi baik yang berdasarkan data-data valid maupun tanpa dasar cenderung menjadi ujaran kebencian.
Padahal secara matematis, 58 persen lebih masyarakat Indonesia yang memiliki hak pilih merupakan pemilih Jokowi. Ceruk ini lah yang seharusnya mereka bisa mobilisasi agar mau memilih Anies, bukan malah dimusuhi.
Dengan melakukan hal tersebut, artinya secara matematis Anies hanya memperebutkan 42 persen ceruk pasar yang selama ini bukan merupakan pemilih Jokowi.
Andai Anies Baswedan dan para partai pendukungnya bersama tim horenya mampu meraih seluruh 42 persen ceruk pasar itu, belum tentu juga ia bisa memenangkan Pilpres 2024.
Apalagi faktanya, ceruk pasar itu harus diperebutkan dengan Prabowo Subianto yang hingga kini sudah dipastikan bakal maju sebagai bacapres dari Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR).
Jika pendekatan para pendukung Anies tersebut tak berubah, ya saya kira agak sulit bagi Anies untuk memenangi Pilpres 2024, meskipun dengan jargon "perubahan"
Merubah sebuah tatanan seperti program kerja dan kebijakan sebuah rezim Pemeritahan, bukan berarti menjelek-jelekan program dan kebijakan yang dilakukan Pemrintahan sebelumnya tanpa data dan fakta yang valid, tunjukan saja program kerja yang kurang baik sekaligus memaparkan kebijakan berbeda yang lebih baik dengan dasar-dasar ilmiah yang masuk akal, bukan dengan narasi yang memupuk kebencian.
Narasi-narasi "kebencian" terhadap Jokowi dan para pendukungnya tersebut, terlihat jelas di berbagai unggahan para pendukung Anies di media sosial.
Belakangan, pasca penetapan Ganjar Pranowo sebagai bacapres dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) akhir Ramadhan lalu. Narasi yang digaungkan oleh para pendukung Anies Baswedan di media sosial adalah "playing victim"
Mereka beramai-ramai menarasikan bahwa Pemilu dan Pilpres 2024 akan dipenuhi oleh kecurangan untuk mendegradasi Anies Baswedan tanpa dasar yang jelas, hanya berdasarkan utak-atik gathuk berlandaskan halusinasi.
Mulai dari masalah hukum Formula E hingga kemungkinan kecurangan yang akan dilakukan dalam Pemilu semuanya demi kemenangan lawan dari Anies Baswedan.
Logikanya dimana coba, Pertandingan belum dimulai tapi sudah menuduh pertandingan tersebut akan curang. Ini sangat berbahaya jika dibiarkan lantaran nantinya akan mendelegitimasi proses demokrasi lima tahunan tersebut.
Marilah semua pihak berkontestasi politik secara beradab, Pemilu dan Pilpres kan sebuah proses demokrasi biasa saja. Kalah hari ini, kan bisa juga menang pemilu selanjutnya.
Biarkan semuanya bergulir secara normal, awasi pelaksanaan prosesnya, sikapi perbedaan pilihan politik secara rasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H