Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Artikel Utama

Mudik, Fenomena Sosio Kultural Tahunan yang Berdampak Besar terhadap Perekonomian Nasional

17 April 2023   10:46 Diperbarui: 18 April 2023   13:45 2384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Musim mudik telah tiba, menjelang cuti bersama mulai 18 hingga 25 April 2023 masyarakat mulai bergerak untuk melakukan perjalanan mudik Lebaran tahun 2023 ini

Pemerintah memperkirakan akan ada 123,8 juta orang melakukan perjalanan mudik di akhir Ramadhan 1444 Hijriah tersebut.

Jumlah itu sama dengan 2 kali lipat penduduk Inggris Raya. Jumlah pergerakan yang sangat besar secara serentak.

Mudik tahun ini bakal menjadi yang pertama dilaksanakan dengan bebas, tanpa aturan-aturan ketat pandemi Covid-19.

Fenomena mudik menjelang Lebaran dari perkotaan menuju kampung telah muncul sejak era 1970-an.

Menurut berbagai sumber referensi  yang saya dapatkan, secara etimologis, istilah mudik salah satunya berasal dari bahasa jawa yang merupakan akronim dari mulih dilik atau pulang sejenak.

Sementara pengertian lain dalam bahasa Betawi, mudik berasal dari kata udik yang merujuk pada wilayah spasial desa atau kampung pinggiran, kemudian diimbuhi "meng"-udik atau mudik yang dipahami secara harafiah menjadi kembali ke kampung.

Ritual sosial bermuatan spiritual yang kental ini, ditandai dengan pergerakan jutaan manusia dalam rentang waktu yang pendek dari pusat-pusat ekonomi, tempat mereka mengais rezeki menuju tanah kelahirannya secara temporer.

Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang kampung yang berjuang mengadu nasib, seraya bertekad memperbaiki kehidupan untuk mencapai kemapanan.

Dengan segala dinamika, penuh rasa getir serta meretas kerasnya tantangan saat menata hidup, dalam upaya mendamba kesuksesan yang berujung kebahagian hidup, mereka berjibaku tanpa kenal lelah di ranah rantau.

Saat Ramadhan tiba, para perantau ini kerap berada dalam situasi sentimentil pada momen estetik puasa di mana mereka berasal, alhasil kerinduan untuk kembali ke "akarnya" membuncah nyaris tak tertahankan.

Momen yang kemudian menjadi bagian dari kembali menziarahi identitas kultural diri sebagai "orang kampung" sekaligus menuntaskan rasa rindu kepada keluarga.

Selain sebagai bagian dari sosio kultural yang kental dengan muatan spiritual, karena mobilitasnya begitu masif, tentunya akan diikuti oleh pergerakan uang, peristiwa mudik telah menjadi peristiwa ekonomi penting dalam siklus ekonomi Indonesia.

Momen Ramadhan dengan mudiknya, menjadi harapan bagi para pemangku kepentingan perekonomian nasional untuk mengungkit pertumbuhan ekonomi negeri kita tercinta ini.

Mudik biasanya menghasilkan tingkat perputaran uang cepat, berjumlah besar dalam jangka waktu yang pendek, kondisi ini dalam teori ekonomi disebut Velocity of money.

Dampaknya, akan mendorong produksi barang dan jasa  yang bakal dirasakan betul oleh para pelaku ekonomi riil terutama kelompok usaha UMKM.

Dengan demikian, aliran "uang kota" yang mengalir bersamaan dengan datangnya pemudik dapat menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah.

Bank Indonesia memperkirakan perputaran uang tunai saja saat Ramadhan dan Lebaran dengan mudiknya tersebut akan mencapai Rp.195 triliun.

Jumlah itu naik 8,22 persen dibandingkan Ramadhan dan Lebaran tahun 2022 lalu, yang realisasinya sebesar Rp.180,2 triliun.

Atas dasar prediksi itulah BI sebagai otoritas moneter menyiapkan uang tunai untuk kebutuhan Ramadhan dan Lebaran rakyat Indonesia senilai proyeksi perputaran uang tunai, yakni sebesar Rp.195 triliun.

Sementara,menurut Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) mudik tahun 2023 ini diproyeksikan akan menghasilkan perputaran uang secara agregat sebesar Rp. 246 triliun.

Hitung-hitungan ini berdasarkan jumlah pemudik yang diperkirakan sebanyak 123,8 juta orang dikalikan dengan perkiraan rata-rata spending para pelaku mudik yang berkisar di angka Rp 2 juta per orang.

Proyeksi ini, linier dengan analisis yang dilakukan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno yang menyebutkan untuk sektor pariwisata saja perputaran uang saat mudik lebaran tahun 2023 ini akan mencapai Rp.150 triliun.

"Maka kita menargetkan perputaran ekonomi di sektor parekraf tahun ini antara Rp100 sampai 150 triliun. Mudah-mudahan ini bisa membangkitkan ekonomi di daerah selama periode mudik libur Lebaran," kata Sandi, seperti dilansir Merdeka.com.

Jumlah perputaran uang yang sangat fantastis, mengingat hanya terjadi dalam rentang waktu yang singkat sekitar satu atau dua pekan menjelang dan sesudah lebaran.

Jika benar proyeksi APINDO tersebut, artinya angka tersebut setara dengan 9 persen APBN Indonesia tahun 2023 atau sekitar 1,2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2022.

Angka-angka statistik ini, cukup realisitis mengingat hampir sebagian masyarakat Indonesia, menyisihkan sebagian pendapatannya untuk kebutuhan tahunan ini.

Apalagi ditambah dengan gelontoran THR, yang wajib ditunaikan oleh para pemberi kerja terhadap karyawannya. Hal yang menjadi amunisi tambahan kebutuhan belanja selama mudik. Langkah yang tak kalah kontributif adalah uang dari aktivitas  Infaq, Sodakoh dan zakat.

Pada bulan Ramadhan, biasa sebagian besar masyarakat muslim Indonesia mendadak dermawan, plus adanya kewajiban bagi umat muslim untuk membayar zakat fitrah.

Ratusan triliun berputar dari kota besar ke kota kecil, dari kota ke desa, dari desa ke dusun. Secara agregat, value of money-nya tak hanya berbentuk uang tunai, tetapi bisa juga dalam bentuk barang seperti baju baru, gadget dan barang elektronik, kendaraan bermotor dan berbagai kebutuhan lainnya.

Dalam pendekatan teori ekonomi, hal itu bisa disebut sebagai redistribusi kekayaan, yakni perpindahan kekayaan (aset) dari satu daerah ke daerah lain atau dari satu individu ke individu lain.

Tak pelak, mudik dengan segala drama dan dinamikanya, bukan hanya perkara sosio kultural dan spritual tapi "ekonomi banget"

Dengan fakta tersebut di atas ritual mudik menciptakan pola redistribusi aset ekonomi dari kota besar ke kota yang lebih kecil hingga ke hirarki wilayah terendah, dusun.

Andai sisi positifnya bisa ditangkap oleh masyarakat, hal ini bisa menjadi stimulus bagi aktivitas produktif masyarakat dan akan mampu menumbuhkan perekonomian di daerah-daetah.

Sampai titik tertentu, bisa jadi akan menjadi awal kemandirian daerah secara ekonomi, terutama dalam menaikan derajat para pelaku ekonomi kecil sehingga bisa menjadi sumber-sumber pendapatan bagi daerah bersangkutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun