Jagat maya dua hari belakangan diramaikan dengan cuitan dari akun @Fadlizon, milik anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dari Fraksi Partai Gerindra Fadli Zon.
Dalam cuitan yang mengundang keriuhan itu berkaitan dengan kondisi di sebuah negara Magribi kawasan di bagian utara benua Afrika, Aljazair.
"Di Aljazair, harga bensin Rp. 3000,-/liter; harga solar Rp. 1700,-/liter. Jalan tol ribuan kilometer gratis. Tak ada satupun ruas tol berbayar. Luar biasa." Cuit Fadli.
Sontak saja cuitan dari Fadli ini memdapat respon dari warganet +62, pro dan kontra dalam respon tersebut mengemuka seperti biasa.
Termasuk dari salah satu staf khusus Kementerian Keuangan, Yustinus Prastowo lewat akun Twitternya @Prastow, yang intinya memaparkan bahwa keadaan Indonesia berbeda dengan Aljazair, sehingga tak memungkinkan menetapkan harga BBM semurah di Aljazair dan jalan "Tol" gratis.
"Pak @fadlizon mungkin perlu membandingkan ini juga. Aljazair punya cadangan minyak 5x Indonesia, lifting 2x Indonesia, dan jumlah penduduk hanya 1/6 Indonesia. Eh...rasio utang Aljazair  62,99%. Di sini rasio utang 39,57% (2022) sdh Anda nyinyirin habis2an. "
Memang dalam cuitan Fadli, tak ditemukan satupun kalimat yang membandingkan kondisi antara Aljazair dan Indonesia.
Text tadi lebih bersifat informasi dan tak konotatif. Meski demikian, rangkaian kalimat itu bisa dimaknai berbeda-beda oleh para pihak, jika menilik posisi Fadli Zon, sebagai politisi yang pendapatnya lebih sering ber"oposisi"Â
Mengingat rekam jejak Fadli yang kerap bersikap berseberangan dengan Pemerintah tersebut, meskipun Gerindra partai yang menaunginya bagian dari Pemerintah.
Faktanya,jika diamati lewar media sosial, cuitan Fadli Zon tersebut dijadikan pemicu atau dasar bagi para pihak "oposisi" untuk menyerang atau paling tidak men-disgrace capaian Pemerintah di bidang ekonomi.Â
Nah dalam situasi inilah membuat Yustinus Prastowo harus merespon, agar masyarakat mendapat informasi yang berimbang.
Sebenarnya dalam pengelolaan perekonomian suatu negara, satu sama lain berbeda-beda tergantung kondisi politik, size economynya, demografi dan geografisnya serta budaya dari bangsa yang bersangkutan. Meskipun secara teori mungkin sama saja.
Atas dasar tersebut, membandingkan harga jual minyak dalam negeri Indonesia, secara head to head dengan Aljazair ya tak apple to apple juga.
Jumlah penduduknya saja jomplang, Indonesia dihuni oleh 277, 32 juta jiwa, sedangkan Aljazair, melansir situs Worldometer,penduduknya sebanyak 43,85 juta jiwa.
Cadangan minyak Aljazair, 12,2 miliar barel, produksi hariannya sebanyak 1,02 juta barel, dan mereka net eksportir minyak.
Indonesia cadangan minyaknya hanya 2,48 miliar barel dengan produksi 612 ribu barel per hari  dan Indonesia saat ini adalah net importir minyak.
Dengan kondisi ini, wajar saja, apabila harga jual BBM dalam negeri di Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan Aljazair.
Justru akan menjadi tidak wajar apabila harga BBM di Indonesia, sama atau lebih murah dibandingkan Aljazair.
Kadang cara berpikir pihak-pihak yang berseberangan dengan Pemerintah ini agak aneh dalam hal mengelola perekonomian negara ini.
Di satu sisi, mereka terus menyerang cara Pemerintah mengelola pendapatan negara dengan cara intesifikasi perpajakan yang merupakan sumber utama pendapatan negara.
Di sisi lain, mereka juga berharap segala hal disubsidi termasuk BBM, kalau bisa semurah mungkin.
Ketika terjadi defisit antara anggaran pendapatan serta belanja negara terjadi, dan  terpaksa Pemerintah harus berhutang, digebukin juga. Utang negara digoreng sedemikian rupa. Seolah tak pernah ada benernya.
Sebenarnya siapa sih yang tak ingin, BBM murah, sekolah gratis hingga perguruan tinggi, kebutuhan pokok terjangkau, lapangan kerja gampang diperoleh dan pajak yang dibebankan sangat rendah?
Semua manusia dan pemerintah di kolong langit ini, pastinya berharap kondisi seperti itu bisa terjadi.
Tapi kenyataan di lapangan tak akan seperti itu, wellfare state semacam negara-negara di Eropa Utara seperti Norwegia, Swedia, dan Denmark memang pendidikan dan kesehatan masyarakatnya gratis, tapi pajak yang dikenakan terhadap penduduknya sangat tinggi.
Memang benar, dalam pengelolaan perekonomian nasional, Pemerintah Indonesia masih jauh dari sempurna, kebocoran masih terjadi disana-sini, efesiensi dan efektifitas anggaran masih harus diperbaiki.
Agar terus diperbaiki, Â itu butuh bahkan harus dikritik, tapi kritik yang rasional. Berharap subsidi melimpah, tapi pajak harus serendah mungkin dan berhutang pun digebuki ya aneh, kaya utopia gitu.
Dalam merancang APBN, Pemerintah sudah berhitung secara mendalam, dengan best practise agar masyarakat ekonominya bisa terlindungi dan sejahtera, tapi pada saat bersamaan tak memberatkan keuangan negara.
Tak Ada Jalan Tol Gratis di DuniaÂ
Satu hal lain dalam cuitan Fadli Zon, adalah masalah jalan tol gratis "tak ada satu pun ruas tol berbayar".
Dimana-mana di seluruh dunia yang namanya 'ruas jalan tol" atau toll road itu pasti berbayar.
Toll Road dalam bahasa Inggris sendiri berarti a road that pay to use alias jalanan berbayar ketika digunakan.
Di Indonesia sendiri istilah ini diserap menjadi "TOL" yang merupakan akronim dari Tax on Location artinya pajak yang dibayarkan ditempat saat akan menggunakan jalan tersebut.
Namun sayangnya di Indonesia selama ini jalan Tol, bukan diartikan sebagai "jalan berbayar" tetapi "jalan bebas hambatan" dan itu salah kaprah.
Di Eropa dan Amerika Serikat jalan bebas hambatan itu disebut freeway atau expresway, yang memang sedari awal bisa digunakan secara gratis dan biaya pembangunannya sepenuhnya berasal dari anggaran negara.
Berbeda dengan jalan tol, yang menggunakan skema pembiayaan oleh pihak swasta sepenuhnya, atau program Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Karena melibatkan pihak swasta, otomatis harus ada imbal hasil yang diberikan, makanya jalan tol itu pasti berbayar.
Mungkin yang dimaksud dalam cuitan Fadly Zon tersebut adalah jalan freeway ini bukan jalan tol. Karena seperti halnya di Eropa dan AS, kualitas dan lebarnya, freeway serupa jalan tol di Indonesia.
Akan tetapi jika berbicara "jalan tol" ya tak ada yang gratis di mana pun di dunia ini, namanya saja sudah jalan berbayar.
Sekali lagi kritik itu harus terus digaungkan, tapi mbo yah rasional gitu loh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H