Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Petani Tembakau dan Pemahaman terhadap Kebijakan Pemerintah Menaikan Cukai Rokok

5 November 2022   18:05 Diperbarui: 6 November 2022   13:42 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya sebagai perokok aktif sebenarnya agak terganggu dengan kenaikan tarif cukai yang resmi diumumkan pemerintah, Kamis (03/11/22) kemarin, karena dengan dinaikkannya cukai maka harga jual rokok di tingkat konsumen juga pasti mengalami kenaikan.

Alhasil pengeluaran saya untuk kebutuhan tersebut bertambah besar, dan harus menyiapkan budget lebih. Itulah alasan saya mengapa saya merasa terganggu dan sedikit merasa kesal terhadap keputusan pemerintah tersebut.

Kekesalan itu muncul bukan karena saya berpikir bagaimana nasib petani tembakau dan cengkeh setelah kenaikan cukai, yang biasanya akan diiringi dengan penurunan permintaan secara temporer, sehingga berdampak pada pendapatan petani, atau nasib para pemilik dan pekerja di industri pengolahan tembakau.

Pikiran yang sama juga ada di benak saya saat membeli dan menghisap rokok, saya melakukan itu tak berpikir untuk menyejahterakan petani tembakau dan cengkeh atau siapapun para pemangku kepentingan dalam industri tembakau, semua saya lakukan karena saya suka merokok dan kecanduan, sesimpel itu.

Sama halnya dengan saya makan di warteg atau rumah makan Padang, ketika saya mendatangi tempat makan itu, praktis karena saya lapar dan mood-nya lagi ingin menyantap masakan yang dihidangkan mereka, bukan karena ingin menyejahterakan pemilik dan pegawai kedua tempat makan itu.

Jadi dalam prespektif saya merokok itu perkara pilihan, tak ada juga orang yang mengharuskan kita untuk merokok, seperti halnya makan di warteg atau rumah makan Padang. Saya tahu persis kenikmatan merokok dan sekaligus bahaya merokok itu seperti apa, bagi kesehatan dan lingkungan.

Jadi tak perlu juga menjadikan nasib petani tembakau dan cengkeh sebagai alasan kekesalan naiknya cukai rokok tersebut.

Menurut sejumlah sumber bacaan berupa jurnal-jurnal kesehatan yang banyak menulis tentang bahaya rokok.  

Tembakau mengandung racun yang bekerja lambat, tersembunyi tetapi mematikan. Setiap batang rokok mengandung kurang lebih 600 bahan kimia dan 7.000 senyawa kimia berbahaya yang diproduksi oleh asap rokok.

Bisnis.com
Bisnis.com

Beberapa penyakit yang ditimbulkan oleh produk tembakau  antara lain penyakit kardiovaskuler (jantung dan stroke) berbagai penyakit kanker, mulai dari kanker mulut, kanker tenggorokan, kanker paru-paru, leukimia, kanker payudara hingga kanker serviks.

Menurut data yang dirilis Universitas Indonesia pada tahun 2010, lebih dari 190 ribu orang meninggal dunia per tahun akibat penyakit yang berhubungan dengan konsumsi tembakau di Indonesia.

Selain buruk bagi kesehatan, merokok pun menyumbangkan keburukan serupa untuk lingkungan. Menurut VapeMagz yang terbit 17 Desember 2018, setiap perokok berkontribusi melepaskan 0,03 ton karbondioksida saat ia menghabiskan sebatang rokok.

Selanjutnya, seorang perokok rata-rata membuang puntungnya sebanyak 430.700 puntung rokok sepanjang hidupnya, dan puntung ini mencemari lingkungan dengan 600 bahan kimia tadi.

Lebih jauh lagi, Lembaga Penelitian ocean conservatory Amerika Serikat, menemukan bahwa sampah yang paling banyak ditemukan di lautan adalah puntung rokok.

Dengan segala keburukannya tersebut saya masih terus saja menghisap rokok, meskipun deep down in my heart and mind ingin sekali menghentikan kebiasaan merokok tersebut, tetapi tak semudah yang dibayangkan.

Oleh sebab itu, ketika pemerintah terus menerus menaikan tarif cukai rokok, meskipun kesal, tapi saya bisa memahami dan tak menyalahkan mereka, karena meskipun legal dan menghidupi banyak orang, rokok tetap merupakan barang yang sangat berbahaya yang peredaran dan produksinya harus dikontrol oleh negara.

Dan cukai ini lah adalah instrumen fiskal yang bisa digunakan untuk mengendalikannya, agar para perokok dan calon perokok berpikir dua kali karena harga belinya menjadi mahal.

Saya mulai merokok sejak harga rokok yang biasanya saya hisap berharga Rp 2.500 per bungkus hingga saat ini naik terus hingga mungkin berpotensi menembus harga Rp 40.000 per bungkus saat kenaikan cukai tahun ini diterapkan.

Hal tersebut, menandakan bahwa memang kenaikan cukai yang berimbas naiknya harga jual rokok tak serta merta akan membuat perokok  menghentikan kebiasaannya, paling tidak, tak terjadi terhadap saya.

Tetapi dengan kenaikan harga tersebut membuat saya mengurangi intensitas dan kuantitas rokok yang saya hisap, dari sebelumnya satu bungkus habis dalam 24 jam, kini baru habis 48 jam atau 2 hari.

Artinya upaya pemerintah dengan instrumen fiskal itu sudah bisa dianggap berhasil mengurangi intensitas perokok untuk menghisap rokoknya.

Dengan demikian, paling tidak mereka sudah dalam track yang benar dalam pengendalian rokok, saya pun meyakini para perokok pemula akan bepikir berkali-kali untuk merokok karena harganya mahal.

Sebagai tambahan informasi, harga jual rokok di Indonesia merupakan salah satu yang paling murah di kawasan Asia Tenggara bahkan mungkin dunia.

Sebagai benchmarking, harga jual rokok yang biasa saya hisap di Singapura harga per bungkusnya mencapai Rp 160 ribu, di Australia lebih mahal lagi, harga per bungkusnya mencapai Rp 368 ribu rupiah, demikian juga di Selandia Baru yang harganya di atas Rp 300 ribu.

Mengingat fakta-fakta di atas, saya hanya ingin memberikan gambaran  mengendalikan produksi dan distribusi rokok ibarat dua sisi mata uang, bagi pemerintah Industri Hasil Tembakau (IHT) itu situasinya dilematik dan penuh kontroversi. 

Di satu sisi IHT mampu menyerap tenaga kerja sangat besar, menurut Laporan Ernst & Young jumlahnya mencapai 5,98 juta orang. 

Namun di sisi lain produk hasil tembakau ini menimbulkan dampak eksternalitas negatif bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup.

Mengingat besarnya skala eksternalitas negatif yang timbul akibat produk tembakau, tindakan masif perlu dilakukan untuk mengurangi efek negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup dari bahaya akibat produksi tembakau, serta jika memungkinkan memberikan efek jera bagi perokok.

Salah satu opsi yang dapat digunakan adalah kebijakan berdasarkan pasar (market base-policy) yakni kebijakan menaikkan cukai atas hasil tembakau dengan maksud mengendalikan konsumsi.

Dengan besaran cukai yang tepat diterapkan, maka pola konsumsi akan cenderung menurun, disebabkan pola behaviour konsumsi masyarakat yang rata-rata sensitif terhadap harga.

Itu yang sebenarnya diharapkan oleh pemerintah terkait kenaikan cukai hasil tembakau tersebut. 

Masyarakat mungkin saja kesal dan geram dengan kenaikan cukai ini, tapi itu lebih pada kekhawatiran dirinya karena harus mengeluarkan budget lebih tinggi untuk kebutuhan konsumsi rokok, dibandingkan dengan kesejahteraan petani atau mereka yang hidupnya tergantung dari industri tersebut.

Kenaikan cukai dalam 5 tahun belakangan hampir selalu dilakukan pemerintah, tapi industri rokok nasional tetap saja tumbuh. 

Menurut data Kementerian Keuangan tahun 2021 saja masih tumbuh sekitar 7,2 persen, padahal pada tahun 2020 dihantam kenaikan cukai hingga 25 persen. Artinya kehidupan mereka yang nafkahnya tergantung pada industri ini termasuk di dalamnya petani tembakau dan cengkeh baik-baik saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun