Saya sebagai perokok aktif sebenarnya agak terganggu dengan kenaikan tarif cukai yang resmi diumumkan pemerintah, Kamis (03/11/22) kemarin, karena dengan dinaikkannya cukai maka harga jual rokok di tingkat konsumen juga pasti mengalami kenaikan.
Alhasil pengeluaran saya untuk kebutuhan tersebut bertambah besar, dan harus menyiapkan budget lebih. Itulah alasan saya mengapa saya merasa terganggu dan sedikit merasa kesal terhadap keputusan pemerintah tersebut.
Kekesalan itu muncul bukan karena saya berpikir bagaimana nasib petani tembakau dan cengkeh setelah kenaikan cukai, yang biasanya akan diiringi dengan penurunan permintaan secara temporer, sehingga berdampak pada pendapatan petani, atau nasib para pemilik dan pekerja di industri pengolahan tembakau.
Pikiran yang sama juga ada di benak saya saat membeli dan menghisap rokok, saya melakukan itu tak berpikir untuk menyejahterakan petani tembakau dan cengkeh atau siapapun para pemangku kepentingan dalam industri tembakau, semua saya lakukan karena saya suka merokok dan kecanduan, sesimpel itu.
Sama halnya dengan saya makan di warteg atau rumah makan Padang, ketika saya mendatangi tempat makan itu, praktis karena saya lapar dan mood-nya lagi ingin menyantap masakan yang dihidangkan mereka, bukan karena ingin menyejahterakan pemilik dan pegawai kedua tempat makan itu.
Jadi dalam prespektif saya merokok itu perkara pilihan, tak ada juga orang yang mengharuskan kita untuk merokok, seperti halnya makan di warteg atau rumah makan Padang. Saya tahu persis kenikmatan merokok dan sekaligus bahaya merokok itu seperti apa, bagi kesehatan dan lingkungan.
Jadi tak perlu juga menjadikan nasib petani tembakau dan cengkeh sebagai alasan kekesalan naiknya cukai rokok tersebut.
Menurut sejumlah sumber bacaan berupa jurnal-jurnal kesehatan yang banyak menulis tentang bahaya rokok. Â
Tembakau mengandung racun yang bekerja lambat, tersembunyi tetapi mematikan. Setiap batang rokok mengandung kurang lebih 600 bahan kimia dan 7.000 senyawa kimia berbahaya yang diproduksi oleh asap rokok.