Menjadi pelanggan tetap Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek memang penuh romantika. Dari mulai antrian saat memasuki stasiun yang mengemuka saat pandemi Covid-19 tengah hot-hotnya, kemudian masalah perubahan sistem perjalanan KRL sehingga memaksa para penumpang untuk transit di Stasiun Manggarai, fasilitas pendukung yang kerap rusak hingga masalah pelecehan seksual.
Namun masalah yang klasik dalam perjalanan ulang-alik menggunakan KRL adalah kepadatan di dalam gerbong dan urusan "rebutan" tempat duduk.
Kalau urusan kepadatan di dalam gerbong, sebenarnya sudah dimafhumi lah oleh setiap penumpang KRL apalagi jika perjalanannya dilakukan pada waktu rush hour, antara Pukul 06.00-09.00 pagi dan 16.00 -19.00 sore.
Nah, untuk urusan tempat duduk ini lah yang kerap menjadi masalah. Seperti yang saya saksikan hari ini, seorang ibu setengah baya yang mungkin berusia awal 50-an naik dari Stasiun Citayam, kondisi kereta saat itu cukup padat.
Ia merangsek masuk ke tengah gerbong kereta mendekati tempat duduk yang kebetulan diduduki oleh beberapa anak muda berusia sekitar pertengahan 20-an yang sebagian diantaranya tengah terlelapÂ
Tanpa ragu sedikitpun si Ibu yang baru naik tadi, mencolek salah seorang di antaranya,Â
"Boleh dong saya duduk" ujarnya
Awalnya si lelaki tadi, diam saja entah memang terlelap atau pura-pura tertidur, karena berkali-kali dicolek, ia membuka matanya seraya mendongak dan berkataÂ
"Ada apa, bu" ujarnya
Si ibu setengah baya tadi kembali mengulang kalimatnya tadi, "Boleh saya duduk."
Dengan muka masam, mata agak merah karena mungkin benar terlelap, dan menggerutu si lelaki tadi bangkit dari tempat duduknya dan berdiri melangkah ke belakang tempat saya berdiri.
Setengah "nesu" ia berucapÂ
"Lansia bukan, hamil enggak, bawa anak kecil pun tidak kok minta duduk" bersungut-sungut.
Sementara si ibu tadi dengan santainya tanpa basa-basi  mengucapkan terimakasih, langsung duduk manis tak peduli apapun, dan kemudian asik memainkan hpnya.
Situasi seperti ini kerap terjadi  bahkan kejadiannya akan lebih seru lagi, apabila si pihak yang dimintai tempat duduknya bersikap menolak secara frontal.
Kadang perdebatan keras muncul karenanya. Trik pura-pura tidur adalah salah satu cara paling mujarab untuk menghindari "dimintai"tempat duduk.
Sedangkan trik "sakit kaki" menjadi trik utama para "peminta tempat duduk." Lucu sih kalau menyaksikan romantika "perebutan" tempat duduk.
Sebenarnya PT. KCI selaku operator KRL di Jabodetabek dan kawasan Aglomerasi Solo-Jogya serta Lamongan- Surabaya telah memberi batasan jelas, siapa saja yang menjadi prioritas mendapatkan tempat duduk.
Mereka adalah ibu hamil yang ditandai dengan Pin Ibu Hamil, kemudian ibu yang membawa anak balita, disabilitas dan lansia.
Nah, yang terakhir itu yang terkadang tak jelas batasan, karena tak ada limit pasti yang diberikan oleh KCI berapa usia yang bisa dikategorikan sebagai lansia.
Kami, hanya mengukur "kelansian" seseorang dari tampangnya saja. Padahal bisa jadi tampang itu tak menunjukan usia sebenarnya.
Di Indonesia seseorang dikategorikan sebagai Lansia, menurut Undang -Undang Nomor 13 tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia adalah mereka yang sudah berusia 60 tahun atau lebih.
Artinya seseorang yang berusia di bawah 60 tahun tak bisa dikategorikan sebagai lansia. Jadi mereka di bawah usia tersebut tak layak mendapat prioritas untuk mendapatkan tempat duduk di KRL.
Lantaran pada dasarnya, untuk urusan tempat duduk di KRL siapa cepat dia yang dapat. Penumpang di stasiun pemberangkatan awal seperti Bogor, Bekasi, Cikarang, Stasiun Kota atau stasiun awal lainnya mendapatkan keuntungan karenanya, terutama di jam-jam sibuk.
Kendati demikian, meski tanpa harus memerhatikan skala prioritas terkadang banyak juga penumpang, terutama laki-laki mempersilahkan perempuan untuk menempati tempat duduknya.
Namun, hal itu bukan berarti menjadi sebuah kewajiban, masalah ini juga kerap menjadi perdebatan.
Beberapa perempuan menganggap memberikan tempat duduk pada mereka wajib dengan alasan etika. Hal yang membuat saya heran sebenarnya, karena seolah membuatnya menjadi seperti kewajiban.
Masalah lain terkait tempat duduk di KRL shuttle ini adalah "Joki tas" yang belakangan ramai di media sosial terjadi di KRL Jogja-Solo dan Lamongan-Surabaya.
Jadi seorang penumpang yang naik lebih awal menandai satu atau beberapa kursi di sebelahnnya untuk temannya yang naik belakangan.
Ketika ada penumpang lain berniat menempatinya si Joki Tas tadi akan berujar "maaf sudah ada yang nempatin"
Menyikapi kejadian seperti ini PT KCI tak bisa melakukan apapun termasuk melarang terjadinya Joki Tas tadi karena tak ada aturannya.
Mereka hanya bisa mengimbau dan mensosialisasikan bahwa hal tersebut tak patut dilakukan, itu saja.
Nah, dalam hal menggunakan public transport atau transportasi umum yang bersifat massal seperti KRL, atau angkutan umum berbasis aspal sebenarnya yang paling penting memang etika dalam bersikap dan bertindak.
Dalam hal tempat duduk seperti yang dibahas dalam artikel ini, bagi mereka yang kebetulan mendapatkan tempat duduk sudilah kiranya bergantian jika memang kondisinya sehat.
Atau memberikan tempat duduknya kepada mereka yang menjadi prioritas seperti yang ditetapkan KCI.
Dan bagi mereka yang kebetulan tak mendapatkan tempat duduk, sadari juga bahwa mereka yg mendapatkan tempat duduk tak bisa seenaknya di mintai tempat duduknya jika anda memang tak masuk dalam penumpang prioritas.
Apabila kemudian diberikan tempat duduk jangan lupa ucapkan "Terima Kasih." Karena kerap kali mereka yang diberi tempat duduk lupa mengucapkan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H