Sebenarnya tak ada yang salah dengan langkah cepat Partai Nasdem mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon Presiden yang akan mereka usung pada Pemilu 2024.
Setiap partai politik memiliki hak yang dilindungi undang-undang untuk mengusung siapapun menjadi calon presidennya, apalagi nama Anies Baswedan secara elektabilitas memang moncer dalam berbagai survey yang dilakukan lembaga survey yang kredibel.
Nama Anies, tak pernah keluar dari posisi tiga besar pemilik elektabilitas tertinggi bakal calon presiden 202, bersama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Menteri Pertahanan sekaligus "petahana' calon presiden dua periode terakhir, Prabowo Subianto.
Jika kemudian efeknya menimbulkan turbulensi politik di partai yang didirikan oleh Surya Paloh ini terasa mulai mengguncang, sangat dapat dipahami, karena jika diibaratkan kendaraan, Nasdem menjalankannya secara zig-zag, ekstrem ke kiri kemudian banting setir ke arah ekstrem kanan.
Kita tahu dalam dua pemilu terakhir Nasdem berada di kubu Jokowi dengan predikat "Jokowi Banget," pokoknya hidup mati partai sepenuhnya diberdayakan untuk memenangkan dan mendukung Jokowi dan koalisinya.
Narasi-narasi yang dibangun para kadernya pun terlihat sangat militan, bagaimana kita melihat salah satu kadernya yang bernama Irma Chaniago berjibaku berdebat tiada henti dengan lawan politiknya, atau Johny G Plate terus membangun argumen-argumen untuk mempertahankan pendirian pemerintah Jokowi dalam berbagai persoalan.
Sementara Anies Baswedan , jelas dan terang dipersonifikasikan menjadi simbol dari kelompok yang berlawanan secara politik dengan Jokowi. Kedua kubu itu berada di sudut yang berbeda sama sekali.Â
Di media sosial para pendukung keduanya selalu berseteru bagai Tom and Jerry, tak ada habisnya mereka memperdebatkan apapun, termasuk hal-hal yang secara akal sehat tak perlu diperdebatkan. Namun demi memuaskan ego masing-masing ya harus diperdebatkan, yang ujungnya melahirkan sumpah serapah, caci maki, dengan hiasan bahasa kebun binatang.
Ya, tentu saja ketika Nasdem seolah-olah mengusung "lawan politiknya" sebagai calon presiden mereka untuk Pemilu 2024, kader dan simpatisannya bakal blingsatan, mereka memilih mundur dan keluar dari partai yang telah dibesarkan dan membesarkannya.
Beberapa tokoh-tokoh Nasdem di daerah lebih memilih mundur dari pada harus ikut serta mengusung Anies Baswedan, seperti tokoh Nasdem dari Bali, Ni Luh Djelantik dan Anak Agung Ngurah Pandji Astika.
Meskipun demkian, saya yakin setiap aspek, baik itu negatif maupun positif terkait pencalonan Anies Baswedan oleh Nasdem, sudah diperhitungkan oleh mereka, meskipun kelihatannya, perhitungannya kurang matang juga.
Efek positif yang sangat berpotensi diraih Nasdem dari pencalonan Anies sebagai capres 2024, paling mungkin adalah coat tail effect atau efek ekor jas yang harapannya suara pemilih Anies bisa dikonversi menjadi suara Nasdem.
Namun, dalam saat bersamaan Nasdem pun berpotensi kehilangan suara dari para pemilih Jokowi pada dua pilpres sebelumnya, 2014 dan 2019, karena pada dasarnya calon pemilih Anies berlawanan 180 derajat dengan pemilih Jokowi.
Selain itu Nasdem, sesaat setelah mengusung Anies sebagai capres 2024, beberapa pernyataan petinggi Nasdem seolah lupa bahwa hingga saat ini mereka masih merupakan anggota koalisi Pemerintah Jokowi.
Terakhir seperti dilansir sejumlah media daring, salah satu petinggi Nasdem, Zulfan Lindan dengan tegas menyebut bahwa hal utama yang menjadi alasan Nasdem memilih Anies Baswedan sebagai capresnya untuk Pemilu 2024 lantaran Anies adalah antitesa dari Jokowi.
"Pertama apa, Jokowi ini kita lihat sebagai tesa, tesis, berpikir dan kerja, tesisnya kan begitu Jokowi. Lalu kita mencari antitesa, antitesannya apa? Dari antitesa Jokowi ini yang cocok itu, Anies," kata Zulfan, seperti dilansir Detik.com. Selasa (11/10/22)
Antitesa secara umum memiliki pengertian kondisi yang sama sekali berbeda, berlawanan 180 derajat dengan kondisi status quo. Dalam uraiannya Zulfan menyebutkan bahwa pemilihan Anies sebagai capres Nasdem sudah berdasarkan kajian filsafat dengan konsep dialektika Hagel, yang dirumuskan oleh filsuf Jerman Frederich Hagel.
Dalam teori ini, ada dua hal yang dipertentangkan untuk kemudian didamaikan, dengan sebutan Tesa dan Anti Tesa, keduanya saling bertentangan.Dengan demikian dialektika tersebut dapat diartikan sebagai pergerakan dinamis menuju perubahan.
Apakah perubahan itu menuju ke arah yang positif atau negatif, tergantung kepada para pelakunya. Seperti misalnya reformasi 98 Tesa-nya susunan politik orde baru yang otoriter dan antitesa-nya orde reformasi yang lebih demokratis.
Pertanyaannya, apakah memang saat ini kondisinya memang urgent untuk mengusung antitesa yang berbeda sama sekali dengan kondisi saat ini?
Dalam konteks politik oposisi tentu saja urgent, toh apapun yang dilakukan oleh Pemerintah Jokowi di mata kaum oposisi tak ada yang benar.
Namun dalam konteks Nasdem yang merupakan bagian dari Pemerintahan Jokowi, sungguh sangat aneh. Berarti selama ini dukungan mereka terhadap jalannya Pemerintahan Jokowi tak tulus, cenderung munafik, lain di bibir lain dihati.
Oleh sebab itu saya untuk kali ini sepakat dengan pernyataan Sekjen PDIP Hasto Kristyanto, bahwa pernyataan Nasdem melalui Zulfan Lindan tersebut berpotensi menimbulkan persoalan tata pemerintahan dan etika politik yang serius.
"Jujur saya sangat kaget dengan pernyataan Partai NasDem melalui Pak Zulfan Lindan bahwa Pak Anies merupakan antitesa Pak Jokowi. Ini menimbulkan persoalan tata pemerintahan dan etika politik yang sangat serius," kata Hasto, seperti dilansir Detik.com. Rabu (12/10/22).
Dalam bahasa lain, bisa diartikan bahwa selama ini Nasdem tak nyaman dengan gaya dan kepemimpinan Jokowi dalam mengelola Republik ini, makanya kemudian mereka mencari anti tesa-nya dalam pemilu yang akan datang.
Padahal dalam dialektika Hagel tersebut selain Tesa dan Anti-Tesa yang benar-benar  berlawanan 180 derajat,juga menyisakan teori Sintesa yang merupakan perdamaian keduanya, atau jalan tengah dengan berbagai pembaharuan di sana-sini.
Kenapa istilah ini tak dipilih oleh Nasdem, alih-alih anti tesa. Artinya Nasdem sudah merasa patah arang dengan Jokowi.Apabila demikian kenapa mereka tidak sedari awal menyatakan keluar dari Koalisi Indonesia Maju  jika sudah merasa mutung.
Mungkin sudah waktunya, kalau tidak Nasdem yang mundur dari koalisi ini, Jokowi harus berpikir ulang dengan keberadaan mereka di koalisi dan kabinet.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI