Ambience politik di Indonesia sepertinya memanas secara prematur, peran Partai Nasdem dan  Gerindra dalam memanaskan suasana dengan mengumumkan calon presiden yang bakal mereka usung dalam Pemilu 2024 menjadi salah satu pemicunya.
Selain urusan capres, pembentukan koalisi antar partai jauh sebelum tahun politik tiba, menjadi bagian lain yang memanaskan situasi politik nasional belakangan.Â
Seperti diketahui, hingga saat ini secara resmi terdapat dua kelompok partai yang telah terbentuk, yakni Koalisi Indonesia Baru [KIB] yang terdiri dari Partai Golkar, PAN, dan PPP, serta Koalisi Indonesia Bangkit yang berisi dua partai politik, Gerindra dan PKB.
Satu hal yang menarik, meskipun Nasdem belum menemukan teman koalisi secara pasti, tetapi mereka sudah mengumumkan capres yang bakal mereka usung, yakni Anies Baswedan.
Sedangkan KIB, meskipun sudah secara resmi menjadi kelompok koalisi untuk menghadapi Pemilu 2024, mereka belum meenemukan capres yang bakal mereka usung.
Hingga saat ini hanya Koalisi Indonesia Bangkit sudah memastikan koalisinya dan capresnya secara bersamaan, konon katanya menurut sejumlah media daring, mereka akan secara lengkap mengumumkan capres dan cawapres dalam waktu tidak lama lagi.
Pasangan yang bakal mereka usung adalah Prabowo Subianto Ketua Umum Partai Gerindra dan Muhaimin Iskandar Ketua Umum Partai PKB.
Apabila benar terjadi, secara formal merekalah kelompok partai politik pertama yang memiliki pasangan lengkap dan memenuhi syarat administratif Presidential Threshold 20 persen sesuai Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu untuk maju dalam Pilpres 2024.
Sementara Nasdem, walaupun sudah memastikan capresnya, tetapi belum memenuhi syarat ambang batas pencalonan presiden lantaran perolehan suara mereka dalam Pemilu 2019 lalu, hanya 9,05 persen.
Nasdem masih membutuhkan paling tidak dua parpol lagi untuk mengusung Anies Baswedan sebagai capresnya secara formal dan memenuhi syarat administratif  presidential threshold.
Dalam prosesnya, Nasdem kemungkinan besar bakal bergabung dengan PKS dan Demokrat lantaran hanya dua parpol itulah yang paling potensial memiliki kesamaan dalam mengusung Anies Baswedan sebagai capres.
Meskipun demikian, terdapat beberapa hal yang harus mereka samakan terlebih dahulu persepsinya sebelum berkoalisi, terutama permasalahan individu yang bakal mendampingi Anies sebagai cawapres.
Namun, sepertinya dalam beberapa waktu yang akan datang ketiga partai tersebut akan berkoalisi secara resmi, tak ada pilihan lain.
Lantas bagaimana dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan [PDIP] sang pemenang dua Pemilu terakhir, satu-satunya partai yang memiliki priviledge untuk mencalonkan pasangan capres dan cawapresnya secara soliter karena meraih suara lebih dari 20 persen dalam Pemilu 2019 lalu.
Mereka sepertinya tengah bergelut dengan kondisi internalnya, mereka sedang berhitung dan harus berhadapan antara keinginan dan fakta di lapangan dalam hal siapa yang bakal mereka calonkan sebagai jagoannya dalam Pilpres 2024.
Melihat gelagatnya, PDIP secara organisasi sepertinya sangat berhasrat untuk mencalonkan "Putri Mahkota" mereka Puan Maharani sebagai capres.
Sayangnya, fakta di lapangan jika mengacu pada hasil survey seluruh lembaga survey kredibel, elektabilitas Puan Maharani masih masuk dalam kategori NASAKOM [Nasib Satu Koma].
Berbagai upaya telah dilakukan PDIP untuk mendorong naik angka elektabilitas Puan, mulai dari pemasangan baliho, memaparkan capaian kerjanya selama ia berkiprah di pemerintahan dan parlemen dimana-mana, hingga menugaskan dirinya untuk bersilaturahmi dengan para pemimpin partai lain.
Hal yang memungkinkan dirinya mendapat perhatian lebih dari masyarakat karena mendapat liputan dari berbagai media. Sayangnya upaya keras tersebut belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan PDIP, angka elektabilitasnya masih cenderung stagnan.
Sementara elektabilitas Ganjar Pranowo salah satu kadernya yang saat ini menjabat Guberur Jawa Tengah, sangat stabil diperingkat atas survey selama dua tahun terakhir, bahkan terus menunjukan tren kenaikan yang stabil.
Terakhir menurut survey yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia, Ganjar Pranowo memiliki elektabilitas 29 persen tertinggi diantara yang lain
Demikian pula hasil survey yang dilakukan oleh Charta Politika yang dilakukan bulan September 2022, elektabilitas Ganjar berada diangka tertinggi 31,3 persen.
Lembaga Survey SMRC pun, hasil survey-nya menempatkan Ganjar sebagai pemilik elektabilitas tertinggi dengan 17,6 persen.Â
Dengan fakta seperti ini, agak naif apabila PDIP tetap mengesampingkan Ganjar sebagai capres terkuatnya, alih-alih mengusung Puan Maharani yang elektabilitasnya masih jeblok di kisaran angka 1 hingga 2 persen saja.
Meskipun hasil survey bukan satu-satunya tolok ukur yang digunakan untuk menentukan calon yang sebaiknya maju.Namun hasil survey juga tak mungki diabaikan oleh elit PDIP termasuk Ketua Umumnya, Megawati.
Umpamanya, jika ternyata setelah berbagai upaya dilakukan tetapi hasil survei ternyata sangat sulit untuk terdongkrak lebih tinggi lagi, sedangkan ganjar semakin moncer hasilnya, mungkinkah PDIP memunculkan skenario Ganjar-Puan.
Melapaskan Ganjar ke parpol lain sebagai capres bakal sangat berisiko bagi PDIP karena Ganjar dapat membawa sebagian gerbong kader dan simpatisan PDIP.
Sangat mungkin skenario duet Ganjar-Puan tak akan memuaskan banyak elit PDIP pendukung Puan, apalagi yang tak terlalu menyukai Ganjar.
Namun, lebih masuk akal jika tujuannya ingin mempertahankan peran PDIP dalam peta perpolitkan nasional, mencetak hattrick kemenangan pemilu tiga kali berturut-turut serta untuk menjaga keutuhan partai.
Syarat utama terwujudnya duet ini adalah kerelaan Puan untuk menjadi pendamping Ganjar
Skenario Ganjar-Puan mungkin tak akan mudah diwujudkan. Tetapi jika sudah perintah Megawati tak mungkin lagi akan ada yang membantah.
Jika dihubungkan dengan  pembentukan koalisi sepertinya PDIP lebih mungkin bergabung bersama KIB, yang juga merupakan rekan koalisinya dalam pemerintahan saat ini.
PDIP dalam banyak kesempatan menyatakan bahwa mereka tak mungkin maju sendirian dalam Pemilu dan Pilpres 2024. Dalam bahasa mereka "Indonesia terlalu besar untuk dikelola sendiri."
So, jika PDIP bergabung bersama KIB, mungkinkah skenario Ganjar-Puan bakal dapat dinyatakan sebagai pasangan capres, mengingat masing-masing parpol yang tergabung dalam KIB juga memiliki agenda untuk memajukan jagoannya.
Golkar misalnya sangat terang dan jelas berkeinginan sangat keras untuk mencalonkan Ketua umumnya Airlangga Hartarto sebagai capresnya.
Kendati demikian, tak ada yang tidak mungkin dalam politik sepanjang urusan yang berkaitan dengan siapa mendapat apa seperti lazimnya dalam praktik politik elektoral di Indonesia,disepakati.
Mungkin PDIP bisa "menawarkan sesuatu yang tak dapat ditolak" kepada partai anggota koalisi KIB asal mereka mendukung duet Ganjar-Puan.
Misalnya dengan bauran penawaran yang tak hanya terpaku pada pembagian kursi kabinet, tetapi juga pada pembagian kekuasaan di parlemen yang lebih berimbang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H