Riuhnya suara publik yang sebagian besar diantaranya menolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) berbanding terbalik dengan senyapnya kenaikan harga Rokok yang juga merupakan "kebutuhan" masyarakat lain.
Padahal kenaikan harga olahan komoditas tembakau ini menurut data yang saya dapatkan dari berbagai sumber, bahkan jauh lebih sering terjadi dibandingkan kenaikan harga BBM.
Apabila dibandingkan kuantitas pengguna dan pihak-pihak yang terdampak akibat kenaikannya pun sebenarnya angkanya tak jauh berbeda, dari sisi konsumen dan produsen.
Perputaran nilai  ekonomi dari industri rokok terbentang mulai dari petani tembakau, buruh rokok, industri pengolahan tembakau, pedagang dari skala besar hingga tingkat asongan
Dari sisi konsumen, menurut catatan Kementerian Kesehatan, hingga akhir 2021 saja jumlah orang dewasa yang menjadi perokok aktif mencapai 70,3 juta orang dengan rincian 65,5 persen adalah perokok pria dewasa dan 33 persen perokok wanita dewasa, sisanya perokok pria dan wanita anak.
Dan kemungkinan jumlah perokok di Indonesia akan terus bertambah, mengingat dalam sepuluh tahun terakhir terjadi peningkatan perokok dewasa sebanyak 8,8 juta orang seperti diungkapkan oleh data Global Adult Tobacco Survey(GATS).
Artinya bisa jadi di saat tulisan ini dibuat pada awal September 2022, angka ril konsumen rokok di Indonesia mendekati angka 100 juta orang, jumlah yang tak sedikit dan sangat berpengaruh terhadap kondisi ekonomi nasional.
Di sisi produsen atau industrinya, berdasarkan data dari Kementerian Pertanian pada tahun 2021 terdapat 603.488 petani tembakau.
Tentu saja petani tersebut tak hidup sendirian, jika diasumsikan dalam satu rumah tangga petani terdapat empat anggota keluarga, maka ada lebih dari 2,4 juta orang yang tergantung pada tenbakau.
Selain petani, di sisi produsen yang akan terdampak kenaikan harga rokok dan olahan tembakau lainnya adalah buruh pabrik rokok dan pendistribusiannya.
Menurut data Kementerian Industri, hingga awal 2022 terdapat sekitar 4,9 juta orang yang bekerja sebagai buruh dan tenaga pendistribusiannya di industri rokok.
Apabila diasumsikan sama seperti petani mereka memiliki 4 anggota keluarga, maka hampir 20 juta orang tergantung pada industri tembakau.
Dengan demikian secara keseluruhan terdapat sekitar 120 juta orang Indonesia yang akan terdampak kenaikan harga rokok dan hasil olahan tembakau lainnya.
Jumlah yang patut diperhitungkan saya kira, karena dengan jumlah sebanyak itu secara ekonomi akan berdampak signifikan bagi perekonomian nasional.
Sekarang, kita beralih ke konsumen langsung BBM.
Menurut data yang saya ambil dari Korlantas.polri.go.id, hingga 10 Agustus 2022 Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 149.707.859 unit.
Dengan rincian, 119.536.624 unit adalah kendaraan bermotor roda dua alias motor.
Sementara, kendaraan pribadi roda empat atau mobil berjumlah 23.230.797 unit.
Sedangkan kendaraan jenis bus yang biasanya digunakan untuk angkutan umum, berjumlah 212.409 unit.
Kendaraan pengangkut barang berjenis truk berbagai kapasitas jumlahnya 5.501.875 unit. Ditanbah dengan kendaraan khusus yang jumlahnya sebanyak 85.371 unit.
Seluruh pemilik kendaraan tersebut, yang mungkin saja memiliki lebih dari 1 unit kendaraan per orang, merupakan konsumen langsung BBM.
Kepada merekalah sebenarnya kenaikan harga BBM berdampak langsung. Karena agar kendaraannya bisa digunakan harus mengkonsumsi BBM.
Nah dengan demikian jika dibandingkan dengan konsumen langsung produk rokok dan olahan tembakau, jumlah keduanya tak jauh berbeda mungkin selisihnya antara 20 hingga 30 persen.
Tetapi gaung dan reaksi masyarakat terkait kenaikan dua komoditas ini jauh berbeda. Ketika harga BBM naik, riuhnya luar biasa. Dalam beberapa hari ke depan kita akan banyak menyaksikan demo berjilid-jilid dari berbagai komponen masyarakat.
Namun, ketika harga rokok naik jangankan demo berjilid-jilid, protes saja tidak. Paling menggerundel aja di dalam hati dan menjadi obrolan di warung kopi. Padahal sebenarnya sangat terasa selisih kenaikannya.
Rokok berjenis SKM merek Marlboro produksi HM Sampoerna misalnya 2 tahun lalu masih berharga di bawah Rp. 25 ribu per bungkus, kini sudah berkisar antara Rp 35.ribu hingga Rp.40 ribu per bungkus isi 20 batang.
Jika 1 bungkus itu habis dikonsumsi dalam satu hari maka dalam sebulan selisihnya saja mencapai  antara Rp.300 ribu hingga Rp.450 ribu.
Cukup terasa juga, apalagi pendapatan relatiif tidak berubah.Â
Angka yang tak jauh juga dirasakan oleh konsumen langsung BBM, ada kenaikan pengeluaran belanja yang signifikan terjadi karena kenaikan harga BBM tersebut.
Bedanya, ada di besaran magnitude "gempa" dari dampak kenaikannya.
Ketika BBM naik seluruh sektor, mulai dari barang jadi, slow moving goods seperti pakaian, buku, barang elektronik, hingga fast moving goods seperti makanan dan bahan pangan ikut naik.
Alasannya karena ongkos transportasi distribusinya ikut naik akibat kenaikan harga BBM.
Kadang persentase kenaikannya melebihi persentase kenaikan BBM itu sendiri. Padahal sebenarnya transportasi bahan baku dilakukan dalam volume besar sekaligus. Â Jika dihitung per-satu-an terkecil persentase beban ongkosnya menjadi sangat kecil.
Tapi ketika satuan terkecil itu dijual di tingkat konsumen beban kenaikannya seolah ditimpakan jauh diatas beban satuan terkecil tersebut. Artinya ada curi-curi kesempatan dalam kesempitan.
Berbeda dengan kenaikan rokok, selain para perokok menyadari bahwa merokok itu mengganggu kesehatan, dampak kenaikan terhadap barang lain nyaris nol.
Tak pernah terjadi karena harga rokok naik, maka harga jengkol dipasaran ikut naik. Berbeda dengan kenaikan BBM, naiknya cuma Rp.2.350 per liter  harga jengkol per kilo yang tadinya Rp. 15.000 per kilo menjadi Rp.25.000 per kilo.
Kenapa efek domino tersebut bisa berbeda, karena trickle down effect BBM jauh lebih tinggi dibandingkan dampak kenaikan Rokok.Meskipun terkadang oleh sebagian pihak dilebih-lebihkan untuk meraup keuntungan tambahan.
Selain itu, reaksi riuh dan efek domino kenaikan harga BBM bisa terbentuk karena mindset masyarakat yang sudah lama tertanam ketika menghadapi situasi tersebutÂ
Coba naik turunnya harga BBM dianggap biasa saja seperti naiknya harga rokok, keriuhan setiap kali kenaikan harga BBM dilakukan tak akan terjadi.
Hal itu bisa terjadi apabila sosialisasi terkait pengurangan subsidi BBM itu dilakukan secara terus menerus, tak hanya saat mendekati hari H kenaikan harga BBM.
Sehingga kemudian terbentuk mindset masyarakat bahwa naik turunnya harga BBM itu biasa saja, seperti naik turunnya harga komoditas lain termasuk rokok.
Perokok biasanya kalau harga rokok yang biasa diisapnya naik, akan melakukan adjusment dengan berpindah merek misalnya atau mengurangi konsumsinya.
Nah, hal yang sama kan bisa dilakukan oleh konsumen langsung BBM, biasanya naik kendaraan pribadi ayo kita naik kendaraan umum biar ongkos transportasinya lebih efesien.
Gitu aja kok repot....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H