Tapi ketika satuan terkecil itu dijual di tingkat konsumen beban kenaikannya seolah ditimpakan jauh diatas beban satuan terkecil tersebut. Artinya ada curi-curi kesempatan dalam kesempitan.
Berbeda dengan kenaikan rokok, selain para perokok menyadari bahwa merokok itu mengganggu kesehatan, dampak kenaikan terhadap barang lain nyaris nol.
Tak pernah terjadi karena harga rokok naik, maka harga jengkol dipasaran ikut naik. Berbeda dengan kenaikan BBM, naiknya cuma Rp.2.350 per liter  harga jengkol per kilo yang tadinya Rp. 15.000 per kilo menjadi Rp.25.000 per kilo.
Kenapa efek domino tersebut bisa berbeda, karena trickle down effect BBM jauh lebih tinggi dibandingkan dampak kenaikan Rokok.Meskipun terkadang oleh sebagian pihak dilebih-lebihkan untuk meraup keuntungan tambahan.
Selain itu, reaksi riuh dan efek domino kenaikan harga BBM bisa terbentuk karena mindset masyarakat yang sudah lama tertanam ketika menghadapi situasi tersebutÂ
Coba naik turunnya harga BBM dianggap biasa saja seperti naiknya harga rokok, keriuhan setiap kali kenaikan harga BBM dilakukan tak akan terjadi.
Hal itu bisa terjadi apabila sosialisasi terkait pengurangan subsidi BBM itu dilakukan secara terus menerus, tak hanya saat mendekati hari H kenaikan harga BBM.
Sehingga kemudian terbentuk mindset masyarakat bahwa naik turunnya harga BBM itu biasa saja, seperti naik turunnya harga komoditas lain termasuk rokok.
Perokok biasanya kalau harga rokok yang biasa diisapnya naik, akan melakukan adjusment dengan berpindah merek misalnya atau mengurangi konsumsinya.
Nah, hal yang sama kan bisa dilakukan oleh konsumen langsung BBM, biasanya naik kendaraan pribadi ayo kita naik kendaraan umum biar ongkos transportasinya lebih efesien.
Gitu aja kok repot....