Nah dengan demikian jika dibandingkan dengan konsumen langsung produk rokok dan olahan tembakau, jumlah keduanya tak jauh berbeda mungkin selisihnya antara 20 hingga 30 persen.
Tetapi gaung dan reaksi masyarakat terkait kenaikan dua komoditas ini jauh berbeda. Ketika harga BBM naik, riuhnya luar biasa. Dalam beberapa hari ke depan kita akan banyak menyaksikan demo berjilid-jilid dari berbagai komponen masyarakat.
Namun, ketika harga rokok naik jangankan demo berjilid-jilid, protes saja tidak. Paling menggerundel aja di dalam hati dan menjadi obrolan di warung kopi. Padahal sebenarnya sangat terasa selisih kenaikannya.
Rokok berjenis SKM merek Marlboro produksi HM Sampoerna misalnya 2 tahun lalu masih berharga di bawah Rp. 25 ribu per bungkus, kini sudah berkisar antara Rp 35.ribu hingga Rp.40 ribu per bungkus isi 20 batang.
Jika 1 bungkus itu habis dikonsumsi dalam satu hari maka dalam sebulan selisihnya saja mencapai  antara Rp.300 ribu hingga Rp.450 ribu.
Cukup terasa juga, apalagi pendapatan relatiif tidak berubah.Â
Angka yang tak jauh juga dirasakan oleh konsumen langsung BBM, ada kenaikan pengeluaran belanja yang signifikan terjadi karena kenaikan harga BBM tersebut.
Bedanya, ada di besaran magnitude "gempa" dari dampak kenaikannya.
Ketika BBM naik seluruh sektor, mulai dari barang jadi, slow moving goods seperti pakaian, buku, barang elektronik, hingga fast moving goods seperti makanan dan bahan pangan ikut naik.
Alasannya karena ongkos transportasi distribusinya ikut naik akibat kenaikan harga BBM.
Kadang persentase kenaikannya melebihi persentase kenaikan BBM itu sendiri. Padahal sebenarnya transportasi bahan baku dilakukan dalam volume besar sekaligus. Â Jika dihitung per-satu-an terkecil persentase beban ongkosnya menjadi sangat kecil.