Mengapa demikian, biasanya dengan rendahnya angka pengangguran maka posisi tawar pencari kerja menjadi naik, maka upah yang diberikan oleh pemberi kerja akan menjadi tinggi, hal tersebut membuat uang beredar bertambah banyak dan pada akhirnya mendorong harga kebutuhan naik sehingga pada akhirnya memicu kenaikan angka inflasi.
Nah, dengan melambatnya ekonomi AS seperti diungkapkan oleh ekonom senior dan mantan Menteri Keuangan di era Susilo bambang Yudhoyono, M.Chatib Basri, seperti yang ia cuitkan lewat akun Twitternya @chatibbasri.
Maka ekspor ke AS akan turun, karena AS adalah kekuatan ekonomi paling utama dunia, ekonomi global pun pergerakannya akan ikut melambat. Permintaan energi dan komoditas bakal turun, dan ekspor Indonesia pun akan terkena dampaknya.
Jika perlambatan ekonomi global termasuk ekonomi China terjadi, maka Indonesia harus siap mengantisipasi penurunan ekspor, dengan porsi pengaruh ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi nasional hampir 40 persen akan berat bagi Indonesia untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi seperti saat ini.
Dengan asumsi penurunan ekspor, maka titik berat pertumbuhan ekonomi Indonesia akan ada pada sumber pertumbuhan domestik, utamanya ekonomi rumah tangga.
Dengan posisi seperti ini menurut Chatib, ekonomi Indonesia mungkin akan menghadapi kontraksi fiskal dan moneter. Sehingga dibutuhkan bauran kebijakan yang komprehensif dan kolaboratif agar pertumbuhan ekonomi Indonesia tak terjegal, dan terjun bebas.
Tak mudah memang, berselancar ditengah ombak yang tinggi dan penuh ketidakpastian arahnya tersebut, oleh sebab itu dibutuhkan kerja keras dari tim ekonomi pemerintah dan pihak lain yang berkepentingan termasuk masyarakat.
Menyiyiri apapun kebijakan ekonomi pemerintah tak akan berdampak apapun, selain membuat kegaduhan di media sosial saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H