Setiap perbuatan apapun itu, positif atau negatif pasti memiliki konsekuensi masing-masing. Siapa menabur angin akan menuai badai, begitulah ungkapan pepatah lama.
Ketika cuitan penuh ilmu dan kebajikan  yang ditebar di media sosial, kebaikan tentu akan menghampirinya.
Namun, ketika yang dicuitkan narasi penuh kebencian dengan mengesampingkan norma, keburukanlah yang akan datang mendekatinya.
Mungkin, itu lah yang kini tengah terjadi pada KMRT Roy Suryo, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga pada Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga dikenal sebagai pakar telematika dan mantan politisi Partai Demokrat.
Cuitannya yang diduga mengandung unsur penistaan agama dan kebencian yang  ia tulis lewat akun media sosial Twitter miliknya @KMRTRoySuryo2 dengan diimbuhi meme stupa Candi Borobudur, membawanya menjadi tersangka kasus penistaan agama dan ujaran kebencian.
Seperti dilansir Kompas.Com, pihak Kepolisian Polda Metro Jaya telah menetapkan Roy Suryo sebagai tersangka dalam kasus unggahan meme patung sang Buddha yang diedit mirip wajah Presiden Jokowi.
Status tersangka disematkan Kepolisian pada Roy Suryo setelah melalui proses cukup panjang yang berawal dari viralnya unggahan Roy Suryo, lantas warganet bereaksi cukup keras, terutama dari kalangan Umat Buddha.
Oleh sebab itu, lantas Roy menghapus cuitannya meski belum menyampaikan permintaan maaf.
"Agar tdk ada yg memprovokasi lagi & dianggap 'mengedit' krn ketidakfahamannya, Maka postingan tsb saya drop, case close.
Jelas2 adh ada 2 Akun ASLI Pengunggah sebelumnya," cuit Roy.
Rupanya, harapannya agar "case close" tak terkabulkan. Kasusnya bergulir bak bola salju yang terus membesar, apalagi setelah dua pihak yang mewakili komunitas Umat Buddha melaporkan Roy Suryo ke Polisi atas dugaan penistaan agama, Â salah satunya adalah Herna Sutana.
Menurut Herna, dengan kapabilitas sekelas Roy Suryo, ia meyakini bahwa Roy mengetahui soal simbol agama Buddha yang melekat pada Stupa Candi Borobudur.
Namun, secara sadar Roy malah menambahkan kalimat yang dinilai pihaknya telah menyakiti Umat Buddha.
"Dia tahu bahwa itu yang diedit itu simbol agama yang sangat sakral, dia tahu itu diubah tapi itu ditertawakan. Itulah bahasanya yang membuat kami bereaksi. Itu simbol agama kami dibuat seperti itu terus ditertawakan, dilecehkan karena itu kami bersikap membawa ini ke ranah hukum," ujar Herna, seperti yang saya kutip dari Detik.com.
Guliran kasus yang semakin kencang, akhirnya membuat Roy Suryo tergerak untuk meminta maaf, meski tetap meyakini bahwa dirinya tak bersalah karena ia tak berniat untuk menistakan agama Buddha.
Narasinya, semua kegaduhan yang terjadi terkait meme stupa Candi Borobudur itu ulah provokasi dari pihak yang ia sebut sebagai "buzzerRp." Pihak yang selama ini berseberangan secara politis dengannya.
Roy Suryo pun menegaskan ia tidak membuat atau menciptakan meme stupa Borobudur tersebut, ia hanya mengunggah ulang saja.
Untuk itu lah ia kemudian melaporkan kepada polisi 3 akun media sosial yang pertama membuat dan menciptakan meme tersebut.
Entah ia lupa atau hanya sekedar berkilah, padahal publik pun tahu bahwa karena cuitan dirinya lah meme tersebut menyebar dan menimbulkan kegaduhan di masyarakat.
Mungkin tanpa re-post lewat akun Roy, meme tersebut tak akan menyebar dan menimbulkan kegaduhan.
Oleh sebab itu laporan Roy Suryo terkait pembuat meme tersebut ditolak karena setelah dilakukan pendalaman oleh pihak Kepolisian ternyata tak mengandung unsur pidana.
Dalam perjalanannya, sehari sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Roy berusaha agar kasus ini bisa di drop dengan mencoba mencari perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), karena menurut pengakuannya ia secara pribadi dan keluarganya kerap menerima ancaman.
Pihak LPSK sempat mengeluarkan rekomendasi agar kasus penistaan agama dan menyebarkan kebencian yang membelit Roy Suryo itu dilakukan penundaan penyelidikan.
Sayangnya, elan dari Roy Suryo  dan rekomendasi dari LPSK tersebut tak menemui hasil, ia kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya.
Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Endra Zulpan, Â Roy dijerat dengan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang nomor 19 Tahun 2016 Tentang ITE atau pasal ujaran kebencian.
Serta Pasal 156 a KUHP yakni pasal penistaan agama dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana, dengan ancaman hukuman minimal 6 tahun penjara.
Dengan ancaman hukuman setinggi itu  makanya Roy Suryo terlihat "kena mentalnya" dan harus dibopong selepas pemeriksaan dirinya sebagai tersangka, Jumat (22/07/22) malam.
Entah untuk berapa ratus kalinya, setiap ada kejadian seperti ini kita mesti mengelus dada dan berujar "BIJAKLAH DALAM BERMEDIA SOSIAL"
Pelajaran berharga dari peristiwa yang menimpa Roy Suryo ini, sepertinya selalu digaungkan meskipun selama ini hampir selalu terus berulang.
Apalagi mendekati tahun politik 2023-2024, karena perbedaan politik kita kadang melupakan logika normatif dalam bermedia sosial.
Secinta apapun kita terhadap calon pilihan kita, dan sebenci apapun kita terhadap lawan dari calon pilihan kita, jangan lupakan untuk menyelaraskan antara jempol dan logika normatif dalam bermedia sosial.
Sadari lah, media sosial itu bak belantara yang tricky penuh godaan emosi. Kita ini tak akan kemana-mana meskipun mati-matian membela calon pilihan kita.
Kita masih akan harus mencari kehidupan sendiri apapun yang terjadi dengan calon pilihan kita. Dalam konteks yang lebih luas, sekali lagi bijak lah dalam bermedia sosial terkait masalah apapun.
Jangan sampai "jempol polah, diri menjadi kepradah"
Be Good to yourself, Pal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H