politik mulai bergema, mulai dari personil yang dirasa layak untuk menjadi wakil rakyat, individu mumpuni yang pas untuk menjadi calon pemimpin Indonesia ke depan, hingga aturan tentang penyelenggaraan Pemilu.
Momen menjelang bergulirnya Pemilihan Umum, suar bebunyian terkaitBelakangan isu politik yang mengemuka di ranah publik, selain bakal calon pasangan presiden dan wakilnya untuk gelaran Pemilu terdekat yang akan dilaksanakan 14 Februari 2024 adalah tentang aturan Presidential Threshold (PT).
Munculnya isu PT ini, lantaran sejumlah pihak ramai-ramai melakukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terkait kandungan dalam Pasal 222 Â Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, yang dianggap membatasi atau bahkan menghilangkan hak-hak konstitusional warga negara Indonesia untuk mengajukan diri sebagai pemimpin negeri pada Pemilu 2024 mendatang.
Selain melakukan judicial review secara resmi ke MK untuk menghapus batasan PT dari 20 persen suara sah atau 25 kursi di Dewan Perwakilan rakyat menjadi 0 persen, mereka yang menyoal isu PT, mencoba membangun narasi di ranah publik terutama lewat media sosial bahwa keberadaan aturan PT adalah hasil perbuatan para oligarki politik  yang sangat berhasrat melanggengkan kekuasaan yang sedang digenggamnya.
Ujungnya para pihak yang melakukan gugatan, seperti menyalahkan pemerintahan yang kini berkuasa atas keberadaan Presidential Threshold tersebut.
Apalagi kemudian, seluruh gugatan uji materi yang dilayangkan tergugat yang hampir seluruhnya datang dari pihak beroposisi dengan pemerintah di tolak oleh Majelis Hakim MK.
Alhasil framing negatif kepada Pemerintah dan MK semakin menjadi, bahkan seperti dilansir Kompas.Com,  salah satu penggugat terakhir yang gugatannya di tolak, founder Partai Bulan Bintang (PBB) sekaligus pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra menyebut MK, sebagai "Guardian of The Oligrachi."
Dan lucunya, sebagian besar dari mereka yang melakukan gugatan uji materi tentang PT, selalu mengatasnamakan rakyat atau untuk kemasalahatan umat.
Intinya yang mereka lakukan dalam upaya hukum penghapusan  PT hingga 0 persen tersebut, hanya untuk kepentingan rakyat Indonesia semata, bukan kepentingan dirinya atau partai politik di belakangnya.
Padahal saat aturan PT itu dirancang untuk kemudian disahkan dan mulai diberlakukan pada Pemilu 2004, dan terus dipertahankan hingga Pemilu terakhir pada 2019 mereka juga mengatasnamakan "demi kepentingan rakyat."Â
Bahkan, jika kita menelusuri jejak digitalnya dimasa lalu, sebagian besar kelompok atau individu yang melakukan judicial review terkait aturan PT Â 20 persen agar dihapuskan dan membangun narasi negatif terhadap Pemerintah saat ini di media sosial, adalah mereka yang pada masa lalu menginisiasi keberadaan dan mati-matian membela terus diberlakukannya PT dengan besaran 20 persen tersebut.