Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Industri Rokok Indonesia dan Para Penguasanya

27 Juni 2022   15:30 Diperbarui: 28 Juni 2022   00:33 2553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rokok menurut arti Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah gulungan tembakau(kira-kira sebesar kelingking jari orang dewasa) yang dibungkus (daun nipah, kertas).

Benda berbahan dasar utama tembakau yang menurut para ahli kesehatan banyak mengandung zat-zat adiktif dan berbahaya ini menjadi semacam fenomena benci tapi rindu.

Dibenci karena faktanya memang merusak kesehatan, dirindu karena cuan dari industrinya segede gaban alias gede banget, serta memberi penghidupan bagi jutaan orang.

Selain itu, khusus di Indonesia yang memiliki jenis rokok spesial yang secara luas disebut "Kretek." Rokok lebih dari sekedar sebuah benda industri.

Bahkan menurut Mark Hanusz  dalam bukunya KRETEK :  The Culture and The Heritage of Indonesia's Clove Cigarate.

Kretek merupakan warisan budaya Indonesia yang kekhasannya  setara dengan wayang kulit, batik atau nasi goreng yang "Indonesia banget."

Rokok jenis kretek yang hanya diproduksi di Indonesia ini, meupakan hasil olahan tembakau asli Indonesia yang dikeringkan secara alami untuk kemudian dirajang, dengan campuran saus cengkeh sehingga aroma rasa dan baunya sangat khas.

Kretek ini pula lah yang membawa beberapa pengusaha rokok di Indonesia masuk dalam kategori orang-orang terkaya di Nusantara.

Sebut saja misalnya, Keluarga Hartono pemilik perusahaan rokok PT.Djarum, Keluarga Wonowijoyo pemilik perusahaan rokok PT. Gudang Garam.Tbk

Kemudian ada pula Keluarga Sampoerna, meskipun saat ini mereka hanya menjadi pemilik saham minoritas di perusahaan rokok HM Sampoerna. Tbk, setelah sebagian besar sahamnya di akuisisi oleh Phillip Morris International Inc perusahaan pengolah tembakau terbesar di dunia. pada pertengahan tahun 2005.

Selain ketiga raksasa industri rokok tersebut, terdapat 3 perusahaan rokok lain yang berada di layer kedua industri rokok Tanah Air, yaitu: PT. Bentoel Internasional Investama, PT.Wismilak Inti Makmur dan PT. Nojorono Tobacco International.

Peta Industri Rokok di Tanah Air

Di tengah gencarnya kampanye anti rokok dan kenaikan cukai yang lumayan konsisten dan agresif dari Pemerintah Republik Indonesia sejak tahun 2107, industri rokok masih tetap bisa bertumbuh.

Menurut Laporan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan seperti yang saya kutip dari Katadata.co.id, produksi rokok di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 322 miliar batang.

Jumlah ini menurun sebesar 9,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 356,5 miliar batang. Sedangkan untuk tahun 2021 jumlah produksi rokok di Indonesia naik 3,9 persen dibandingkan tahun 2020 menjadi 334,84 miliar batang.

Sementara, sampai dengan bulan Mei 2022 jumlah produksi rokok mencapai 119,5 miliar batang. Pemerintah melalui Kemenkeu, memproyeksikan produksi rokok untuk tahun 2022 ini sebesar 310 miliar batang atau minimal turun sekitar 10 persen dibandingkan tahun 2021.

Dari jumlah angka-angka produksi di atas, pemilik market share paling besar adalah PT. HM Sampoerna. 

Berdasarkan Laporan keuangan yang dirilis oleh Phillip Morris Internasional, pemilik merk rokok Dji Sam Soe dan Sampoerna A Mild ini membukukan penjualan 82,8 miliar batang rokok sepanjang 2021.

Jumlah ini meningkat 4,3 persen dibandingkan penjualan pada 2020 lalu yang sebanyak 79,5 miliar batang. 

Alhasil, HM Sampoerna menjadi penguasa utama pasar rokok nasional dengan market share 28 persen.

Sementara perusahaan rokok besar lain Gudang Garam menjadi pemilik market share nomor dua dengan 27,1 persen, menurut Laporan Keuangan PT. Gudang Garam mencatatkan penjualan sebanyak 81,9 miliar batang pada tahun 2021.

Peringkat ketiga dalam hal penguasaan pasar rokok nasional di duduki oleh PT Djarum, meskipun sebenarnya agak sulit mendapatkan data keuangan dan penjualan dari Djarum mengingat perusahaan tersebut belum go publik.

Menurut data tahun 2020 yang dirilis oleh Tobacco Industry Watch pangsa pasar Djarum berada diangka 18,7, dengan penjualan berada dikisaran 62 miliar batang rokok.

Di luar 3 besar penguasa industri rokok nasional tersebut, PT. Bentoel Internasional Investama yang kini menjadi anak perusahaan PT British America Tobacco (BAT) menjadi pemilik pangsa pasar nomor 4 dengan 7 persen.

Portofolio merk utama yang dimiliki oleh perusahaan rokok ini antara lain, Dunhill, Club Mild, Star Mild, dan Lucky Strike.

Selanjutnya, ada PT. Nojorono Kudus pemilik merk rokok Minak Jinggo dan Class Mild dengan berbagai variannya. Mereka menguasai 3 persen dari industri rokok di Indonesia.

Sedangkan PT Wismilak Inti Makmur yang saham mayoritasnya dimiliki oleh keluarga Walla, pangsa pasarnya masih kecil sekitar 1 persen dari total produk rokok nasional.

Sedangkan sekitar 9,3 persen lainnya dibagi ratusan produsen rokok lainnya termasuk produksi rokok rumahan.

Cukai, Kesehatan Dan Masa Depan Industri Rokok.

Rokok merupakan salah satu komoditas yang dikenai cukai oleh pemerintah mengingat sifatnya yang berpotensi merugikan kesehatan masyarakat. 

Menurut buku karya Rudy Badhil bertajuk " Kretek Djawa: Gaya Hidup Lintas Budaya" keberadaan cukai rokok sudah ada sejak masa kolonial Belanda. 

Penelitian yang dilakukan oleh Van der Reijden pada tahun 1935, di wilayah Kudus saja pada tahun 1932 sudah ada sekitar 165 pabrik rokok yang seluruhnya memproduksi rokok kretek dengan jumlah produksi sekitar 6,4 juta batang rokok.

Di sisi lain, produksi rokok putih jumlahnya lebih besar sekitar 7 juta batang yang didatangkan secara impor dari Eropa. 

Nah kemudian Pemerintah Kolonial Belanda ambil sikap dan membedakan cukai produk rokok putih dan produk rokok kretek asli Indonesia ini, dengan mengeluarkan Staadsblad Nomor 427 Tahun 1935, yang mengatur soal harga eceran minimum rokok putih, agar tak menekan industri rokok skala kecil.

Menurut buku tersebut, kretek dianggap sebagai komoditas unggulan lantaran mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, serta menyumbang cukai untuk kas negara.

Kemudian setelah dikeluarkannya aturan tersebut, munculah aturan cukai yang paling awal yang diatur melalui Staatsblad Nomor 517 Tahun 1932, kemudian Staatsblad Nomor 560 Tahun 1932.

Dan terakhir Staatsblad Nomor 234 Tahun 1949 tentang Tabaksaccijns Ordonnantie (Ordonansi Cukai Tembakau).

Aturan-aturan ini kemudian berkembang sesuai jaman dan Pemerintahannya, hingga yang digunakan saat ini yakni Undang-Undang nomor 39 tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 11 tahun 1995 Tentang Cukai.

Pada prinsipnya dalam aturan tentang cukai yang paling baru tersebut adalah memperhatikan dengan sangat aspek pengendaliannya, tetapi dalam saat bersamaan juga mampu memberikan perlindungan terhadap pelaku usaha.

Selain itu istilah rokok pun kemudian diganti menjadi industri hasil tembakau. Dalam perjalanannya, cukai hasil tembakau (CHT) ini menjadi salah satu tulang punggung penerimaan negara, tak kurang dari 8 hingga 9 persen pendapatan negara dalam APBN berasal dari industri hasil tembakau.

Namun demikian, tekanan dari pihak eksternal dan internal terkait pengendalian industri hasil tembakau semakin kencang.

Kemudian pemerintah mulai terlihat agresif menjadikan cukai sebagai salah satu instrumen utama pengendalian konsumsi rokok.

Selain sejumlah aturan lainnya, seperti berbagai kebijakan terkait pembatasan iklan rokok atau memperluas kawasan bebas rokok. 

Larangan iklan rokok oleh para aktivis anti-rokok, dianggap salah satu cara yang paling efektif untuk mengendalikan angka perokok pemula khususnya dari kalangan anak dan remaja.

Walaupun sebenarnya larangan iklan rokok tak akan berdampak terlalu signifikan pada tingkat prevelansi perokok pemula. Lantaran tanpa iklan pun, merokok ya merokok saja.

Untuk itulah kemudian membuat cukai menjadi sangat penting dalam hal mengendalikan konsumsi rokok. Karena semakin tinggi cukainya maka akan semakin mahal harga jual rokoknya.

Harapannya dengan semakin mahal harga rokok, masyarakat akan berhenti membeli atau paling tidak mengurangi konsumsi rokok.

Meskipun hal ini masih bisa menjadi bahan perdebatan, karena seperti yang terjadi sebelumnya. Jika harga rokok yang mereka sukai harganya melonjak maka ia akan menurunkan seleranya, beralih merokok yang berharga lebih murah.

Apalagi kemudian pihak produsen rokok pun akan mengakali produksi agar bisa dinikamti konsumennya dengan harga yang tetap terjangkau, misalnya dengan mengeluarkan produk yang dikemas  dengan kuantitas lebih sedikit dalam satu pak rokok,misalnya.

Ya itulah dinamika terkait industri hasil tembakau, dibenci karena dianggap merusak kesehatan, tapi dicinta karena menghasilkan cuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun