Saya tak habis pikir dengan kebijakan mencla-mencle Pemerintah Jokowi  terkait  carut marut urusan minyak goreng ini, pagi dele sore tempe.
Tiba-tiba saja Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto  "mengkoreksi"  kebijakan larangan ekspor kelapa sawit mentah, Crude Palm Oil (CPO) dan semua turunannya untuk stabilisasi harga minyak goreng di dalam negeri yang telah diumumkan sebelumnya oleh Presiden Joko Widodo.
Dalam koreksi kebijakan tersebut Airlangga mengatakan bahwa yang ekspornya dilarang sama sekali seperti yang diumumkan Jokowi sebelumnya  hanyalah Refinery Bleached Deodorized (RBD) palm olein
"Sekali lagi yang dilarang adalah RBD palm olein," katanya, seperti dilansir CNBCIndonesia.com, Selasa (26/02/22).
Ia menambahkan, RBD palm olein yang dilarang ini berlaku pada nomor HS 15119036, 15119037, dan 15119039.Â
Pemberlakuannya akan terjadi selama harga minyak goreng tak turun hingga Rp. 14.000 per liter.
RBD palm olein menurut sumber referensi yang saya peroleh adalah bahan baku spesifik untuk minyak goreng yang merupakan produk turunan CPO.
Pemerintah sepertinya tengah berusaha memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat atas alur proses produksi minyak goreng, untuk menjustifikasi keputusannya mengkoreksi kebijakan yang diumumkan Jokowi sebelumnya.
Mereka menggunakan istilah-istilah sangat teknis terkait proses produksi minyak goreng untuk membingungkan masyarakat dengan harapan publik tak menyebut bahwa kebijakan pemerintah tentang minyak goreng ini mencla-mencle.
Padahal secara logika saja sebenarnya ucapan Airlangga Hartarto itu sudah aneh, bagaimana mungkin produsen kelapa sawit bisa mengolah RBD palm olein menjadi minyak goreng, jika CPO-nya tak tersedia, mengingat bahan baku RBD palm olein itu adalah CPO.
Tanpa CPO, yang kembali bebas diekspor, tak akan ada itu RBD palm olein.Â
Jadi ini hanyalah kilah atau akal bulus pemerintah untuk mengubah kebijakan yang baru berumur 3 hari tersebut dengan tetap memberi muka pada Presiden Jokowi.
Kita semua tahu, sebelumnya dengan tegas dan meyakinkan Jokowi mengumumkan kebijakan baru terkait tata niaga minyak goreng, sesaat setelah dirinya memimpin rapat koordinasi tentang pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, Â di Istana Merdeka, Jumat 22 April 2022 lalu.
"Dalam rapat itu, saya telah putuskan melarang ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng mulai 28 April 2022 sampai batas waktu yang akan ditentukan kemudian" begitu katanya seperti yang saya saksikan dalam channel Youtube milik Sekretariat Presiden.
Dalam pengertian saya dan mungkin seluruh rakyat Indonesia, "bahan baku minyak goreng" seperti yang diucapkan Jokowi itu adalah CPO dan segala turunannya.
Pengertian seperti yang saya pahami tersebut tercermin juga dalam headline berita berbagai media daring dan komentar para stakeholder industri kelapa sawit serta pengamat ekonomi baik secara nasional maupun internasional.
CNNIndonesia merilis kepala berita "Jokowi Larang Ekspor CPO, Harga Sawit Terjun Bebas 50 Persen."
Kompas.com "Petani Sawit Dukung Langkah Jokowi Hentikan Ekspor CPO"
Setali tiga uang Bisnis.Com pun merilis hal yang sama "Jokowi Larang Ekspor CPO, Bukti Kegagalan Menterinya"
Bahkan pemahaman yang sama juga terlihat secara internasional seperti terlihat dari reaksi pasar kelapa sawit dunia yang sehari setelah pengumuman itu dipublikasikan harga CPO dunia langsung meroket.
Perlu diketahui, 50 persen lebih suplai pasar kelapa sawit dunia berasal dari Indonesia, makanya keputusan Jokowi melarang ekspor berimplikasi besar terhadap sentimen harga sawit dunia.
Pun demikian dengan reaksi  pasar dalam negeri, karena pemahaman dari ucapan Jokowi tersebut yang dilarang itu seluruh produk kelapa sawit "CPO dan segala turunannya" maka harga tandan buah segar(TBS) kelapa sawit ditingkat petani sempat terjun bebas hingga lebih dari 40 persen dari harga sebelumnya.
Bias serupa pun terlihat di Pasar Modal Indonesia, sentimen negatif pelarangan ekspor CPO menimpa perusahaan-perusahaan emiten  kelapa sawit, yang membuat harga sahamnnya tergerus setelah Jokowi mengumumkan pelarangan ekspor CPO, pada Jumat (26/04/22).
PT. Londom Sumatera Plantation Tbk  drop hingga 6,5 persen dari Rp. 1.440 menjadi Rp.1340 per lembar saham.
PT. Salim Ivomas.Tbk produsen minyak goreng merk Bimoli pun harga sahamnya ikut turun akibat kebijakan tersebut dari Rp.4.730 menjadi Rp.4.580 per lembar saham.
Demikian pula dengan emiten kelapa sawit milik Sinar Mas, PT. SMART.Tbk pemilik merk minyak goreng Filma harga sahamnya juga turun dari Rp.510 menjadi Rp.486 per lembar saham.
Deretan fakta tersebut,menjadi bukti bahwa pemahaman seluruh masyarakat bahwa yang dilarang Jokowi untuk diekspor itu CPO dan produk turunannya bukan RBD palm oil seperti yang diungkapkan Airlangga.
Lagi pula masa Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia tak di briefing  apa itu perbedaan CPO dan RBD palm oil oleh para staf teknisnya sebelum mengumumkan kebijakan tersebut.
Selain itu jika ada yang kurang lengkap dari pengumuman Jokowi terkait larangan CPO tersebut, seharusnya disusul oleh penjelasan menteri teknis terkait beberapa menit setelah Jokowi selesai mengumumkan kebijakan tersebut.
Artinya, yang diumumkan oleh Airlangga Hartarto tersebut memang merupakan kebijakan baru, setelah kebijakan larangan ekspor CPO versi Jokowi banyak di tentang oleh para pelaku industri kelapa sawit.
Sekali lagi Pemerintah harus bertekuk lutut di sudut kerling para taipan kelapa sawit nasional.
Perubahan cepat sebuah kebijakan yang baru dikeluarkan, tak kali ini saja dilakukan oleh Pemerintahan Jokowi.
Saat kebijakan larangan ekspor batubara diumumkan Jokowi sebagai reaksi kurangnya pasokan pada pembangkit listrik milik PLN.
Eh 15 Â hari kemudian Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengkoreksi kebijakan tersebut dengan berbagai alasan persis seperti saat ini.
Tak ajegnya sebuah kebijakan dibuat memperlihatkan buruknya sebuah proses pengambilan keputusan di era Pemerintahan Jokowi jilid dua tersebut.
Kebijakan yang dibuat terkesan sangat mentah dan tak melihat seluruh aspek secara komprehensif.
Tak heran jika kemudian menurut sejumlah survei terbaru yang dilakukan oleh berbagai institusi survei kredibel seperti Indikator Politik Indonesia dan Litbang Kompas.
Kepuasan masyarakat terhadap kinerja Pemerintah Jokowi terus mengalami tren penurunan.
Lembaga survei, Indikator Politik Indonesia yang melakukan pengambilan sampel uji pada 14 April-19 April 2022 terhadap 2000 responden  memotret penurunan tajam kepuasaan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi.
Secara umum tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi hanya sebesar 59,9 persen, adapun yang tidak puas mencapai 38,6 persen.
Kepuasan publik ini menurun dibanding survei sebelumnya yang dilakukan bulan Januari 2022 yang mencapai angka diatas 70 persen.
Pemerintah belakangan sepertinya kehilangan fokus dalam mensejahterakan rakyatnya, seperti yang terlukis dalam survei Litbang Kompas terbaru.
Publik menilai pemerintah lebih memgutamakan pembangunan Ibukota Negara Baru (IKN) dibandingkan memperbaiki kondisi ekonomi dan tingginya harga kebutuhan pokok.
Sebanyak 51,3 persen masyarakat berpendapat pemerintah lebih fokus pada IKN di banding urusan domestik yang lain, termasuk mengurus tingginya harga kebutuhan pokok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H