Sepertinya keraguan sebagian masyarakat yang terbangun oleh polah sejumlah politisi dan ucapan para menteri A.ka pembantu presiden Jokowi tentang penyelenggaraan Pemilu 2024 dan kemungkinan Jokowi maju lagi dalam Pilpres untuk periodenya yang ketiga sudah terjawab.
Presiden Republik Indonesia Jokowi untuk kesekian kalinya kembali menegaskan bahwa Pemilu 2024 akan tetap berlangsung sesuai jadwal yang telah ditetapkan sebelumnya, yakni 14 Februari 2024.
"Saya kira sudah jelas semuanya, sudah tahu bahwa pemilu akan dilaksanakan 14 Februari 2024" ujar Jokowi seperri yang saya saksikan lewat Channel Youtube milik Sekretariat  Negara , Minggu (10/04/22).
Menurutnya hal ini kembali perlu dijelaskan kepada masyarakat, agar spekulasi dan gorengan narasi perpanjangan masa jabatan presiden tak terus muncul dan mengganggu kehidupan sosial politik serta pemulihan ekonomi negeri ini.
"Ini perlu dijelaskan jangan sampai muncul spekulasi-spekulasi yang isunya beredar di masyarakat bahwa pemerintah tengah berupaya untuk melakukan penundaan Pemilu atau spekulasi mengenai perpanjangan jabatan presiden atau berkaitan dengan 3 peiode," terang Jokowi.
Ia pun memerintahkan kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan untuk memastikan semua tahapan Pmilu 2024 berjalan sesuai timeline yang telah disepakati, yang akan dimulai Juni 2022 ini.
Oke, semua clear yah untuk urusan isu-isu terkait perpanjangan masa jabatan presiden dan sakwasangka bahwa Jokowi bakal maju lagi dalam pertarungan Pilpres 2024 untuk periodenya yang ketiga.
Bahwa hal itu tak akan pernah terjadi, seperti narasi-narasi Jokowi sebelumnya.
Dengan pernyataan ini, saya kira semua pihak harus segera menghentikan melakukan framing atau terus menggoreng isu ini.
Namun demikian, sejumlah pihak tetap saja menggoreng isu ini bahkan setelah pernyataan terakhir Jokowi tersebut.
Jika mengamati lalu lintas isu di media sosial, mereka yang selama ini memang secara nature berseberangan dengan Jokowi tetap saja memprovokasi masyarakat dengan menyebutkan bahwa Jokowi ada kemungkinan berbohong mengenai hal tersebut.
Ya, mau ngomong apalagi karena pada dasarnya mereka-mereka ini sebenarnya bukan memperkarakan isu tersebut, tapi ingin melakukan penggiringan opini untuk memuntaskan dendam mereka karena dipecundangi Jokowi dalam 2 kali Pilpres, 2014 dan 2019 dengan menurunkan Jokowi di tengah jalan.
Dalam pandangan mereka semua yang dilakukan Jokowi selama memerintah selalu dipandang dari sisi negatif atau lebih tepatnya dicari-cari kesalahannya.
Secara obyektif sebenarnya memang tak semua yang dilakukan oleh Jokowi pada saat memerintah selama 2 periode itu benar semua.
Banyak sekali kekurangan-kekurangan yang seharusnya tak perlu terjadi dan tak beres-beres penanganannya, seperti misalnya sengkarut tanpa ujung tata niaga minyak goreng, masalah hukum terutama dalam sejumlah kasus korupsi yang juga masih jauh dari sempurna.
Komunikasi kebijakan publik yang benar-benar tak berjalan dengan baik. Masalah ekonomi yang terkadang masih tak berpihak pada rakyat.
Kendati demikian, secara obyektif pula kita harus akui bahwa banyak juga kebijakan Pemerimtah Jokowi yang positif dan memberi dampak besar bagi masyarakat.
Salah satunya tentang pembangunan infrastruktur yang sangat masif. Kebijakan ekonominya yang mampu mengerem inflasi hingga rata-rata selama 7 tahun memerintah bisa berada dibawah angka 3,5 persen.
Sesuatu yang tak bisa dicapai oleh 6 presiden sebelumnya, padahal tantangan perekonomian pada saat Jokowi memerintah cukup berat karena harus berhadapan dengan pandemi Covid-19.
Hal yang tak dihadapi oleh presiden-presiden yang lain.Â
Sinyalemen terkait kebijakan yang positif ini terkonfirmasi lewat berbagai hasil survei tentang tingkat kepuasaan masyarakat terhadap kinerja Jokowi yang mencapai 70 persen.
Namun, ya itu tadi para"pembenci" Jokowi lebih memilih menutup mata pada fakta-fakta positip tersebut.
Yang ada dipikiran mereka bagaimana caranya men-disgrace capaian pemerintah Jokowi sedemikian rupa sehingga terlihat buruk di mata masyarakat.
Tapi hingga titik tertentu hal tersebut bisa memberi efek postif sebagai kontrol terhadap jalannya pemerintahan agar tak terlena.
Namun, apabila dilakukan dengan dosis berlebihan efeknya akan sangat buruk bagi kesehatan berbangsa dan bernegara.
Hal itu bisa kita saksikan setiap hari di media sosial, saling caci maki antara "kadrun" dan "cebong" terus memanas belakangan di tengah masyarakat.
Setiap kesempatan untuk menjelek-jelekan pemerintah dimaksimalkan, bahkan hingga jauh dari keadaban.
Demokrasi dan kebebasan berpendapat katanya telah diberangus yang  pendapat teesebut disampaikan sambil mencaci maki, kalau benar pendapat itu mungkin si pencaci maki itu tak akan bisa mencaci maki.
Semua narasi-narasi negatif lebih banyak untuk menuntaskan syahwat politik keinginan berkuasa saja sebenarnya, dengan menjual nama rakyat.
Padahal rakyat yang mana yang mereka wakili saja tak jelas.Â
Marilah kita bersikap obyektif, itu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H